GEMA JUMAT, 22 MARET 2019
Oleh : Prof.Dr.H.Syahrizal Abbas, MA[1]
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, wasshalaatu wassalamu ‘ala asyrafil anbiya-i wal mursalin, wa ‘ala alihi wa sahbihi ajmain…Amma ba’du
Kaum muslimin sidang jama’ah Jum’at rahimakumullah…
Islam adalah agama yang menempatkan akhlaq sebagai salah satu ajaran dasarnya. Syeikh Mahmud Syaltut, salah seorang ulama besar Universitas Al-Azhar-Mesir, menyebutkan dalam bukunya Al-Islam ; Aqidah wa Syariah bahwa ajaran Islam terdiri atas tiga aspek yaitu ; aspek akidah, aspek syariah dan aspek akhlaq. Pentingnya ajaran akhlaq bagi manusia, dibuktikan dengan tugas utama dari misi Kerasulan Nabi Muhammad Saw, yaitu memperbaiki dan menyempurnakan akhlaq manusia. Rasulullah Saw menegaskan dalam salah satu hadisnya bahwa, “Aku diutus ke dunia ini hanya untuk menyempurnakan akhlaq mulia” (Innama bu’itstu liutammima, makarimal akhlaq).
Salah satu dimensi akhlaq yang memerlukan perhatian jamaah Jum’at adalah prasangka atau dugaan (dzan), seseorang dalam relasi sosial dan politik serta relasi publik lainnya. Prasangka adalah sikap mental dan bisikan jiwa seseorang, yang terpatri dalam bentuk ucapan maupun perbuatan. Prasangka sering muncul ketika seseorang tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkan, walaupun ia telah berusaha sungguh-sungguh untuk memperolehnya. Prasangka dapat juga lahir karena adanya suatu peristiwa atau situasi, yang mana situasi tersebut tidak diinginkannya. Dua realitas ini menjadi sebab munculnya prasangka atau dugaan (dzan), yang dapat melahirkan prasangka baik (husnu al-dzan) maupun prasangka buruk (su’u al-dzan).
Dalam studi akhlaq, didefinisikan prasangka baik (husnu al-dzan) dengan sikap mental dan bisikan jiwa yang melahirkan perkataan, atau sikap menyadari kelemahan dan keterbatasan diri sendiri, tidak menyalahkan orang lain, tidak mencela dan tidak mencari kelemahan orang lain, serta menerima hasil usaha secara ridha, bersyukur atas nikmat-Nya, dan tawakal kepada Allah SWT. Orang yang berprasangka baik adalah orang yang berpikir positif dan menyadari adanya hikmah dibalik suatu usaha atau keadaan yang mengitarinya, walaupun dia sendiri tidak menghendaki keadaan tersebut. Prasangka baik (husnu al-dzan) dapat ditujukan kepada Allah, kepada diri sendiri dan kepada orang lain. Berprasangka baik kepada Allah bermakna bahwa seseorang menyadari bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, Allah menghendaki sesuatu yang terbaik bagi hamba-Nya dan Allah tidak akan menguji hamba di luar batas kemampuannya. Hal ini ditegaskan Allah Swt dalam surah al-Baqarah ayat : 287 yang artinya ; “Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya”.
Berprasangka baik (husnu al-dzan) terhadap diri sendiri adalah sikap mental terpuji, yang mana seseorang menyadari bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk kerja keras, mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain, sabar dan sungguh-sungguh dalam ibadah dan pengabdian kepada masyarakat. Berprasangka baik (husnu al-dzan) terhadaporang lain adalah sikap mental terpuji, berupa saling menghormati, saling menghargai, menggunakan bahasa yang santun (ma’ruf) dalam relasi sosial dan politik, tidak mencela dan tidak menuduh orang lain tanpa bukti, serta berusaha menutup aib saudaranya yang muslim. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, Rasulullah Saw bersabda ; “Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim sewaktu di dunia, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan di akhirat. Sesungguhnya Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, yang senantiasa menolong saudaranya”.
Kaum muslimim sidang jama’ah Jumat rahimakumullah
Dalam relasi kehidupan masyarakat, banyak juga muncul prasangka buruk (su’u al-dzan) baik terhadap Allah, terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. Prasangka buruk (su’u al-dzan) terhadap Allah menjadikan seseorang gagal menempatkan diri sebagai hamba Allah yang baik dan taat kepada-Nya. Ia senantiasa mencela Allah, menggerutu kepada Allah, dan merasakan bahwa Allah tidak sayang kepadanya, karena Allah tidak memenuhi permintaan dalam doa-doanya. Prasangka buruk ini amat berbahaya dan dapat merusak sendi-sendi akidah islamiyah seorang muslim. Prasangka buruk (su’u al-dzan) terhadap diri sendiri berdampak pada lemahnya keimanan, lahirnya sikap fatalistik, tidak memiliki sikap progressive, dan tidak ada upaya sungguh-sungguh untuk menjadi yang terbaik dalam ibadah dan pengabdian kepada masyarakat. Sedangkan prasangka buruk (su’u al-dzan), terhadap orang lain adalah sikap mental yang mencela, mencari kelemahan dan menuduh orang lain tanpa bukti yang sah. Prasangka buruk (su’u al-dzan) terhadap orang lain akan menimbulkan kecurigaan, fitnah, retak dan putusnya hubungan silaturrahim, hilangnya sikap saling menghormati dan menghargai antar sesama, dan bahkan su’uz dzan, dapat menghilangkan kepecayaan dalam kehidupan rumah tangga, kehidupan bermasyarakat dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Menghadapi akibat negatif prasangka buruk dalam kehidupan masyarakat, maka Allah Swt meminta orang beriman untuk menjauhi dan menghindari parasangka buruk tersebut, karena di dalamnya mengandung dosa. Dalam surah al-Hujurat ayat : 12, Allah Swt berfirman yang artinya : “Wahai orang yang beriman, jauhilah darimu sebanyak mungkin prasangka, karena sebagian prasangka itu mengandung dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentu kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
Dalam ayat ini Allah menggambarkan tiga sikap dan prilaku yang harus dihindari oleh setiap mukmin, yaitu berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunjing orang lain. Ketiga sikap ini termasuk akhlaq tercela (akhlaq mazmumah) yang menjadi penyakit batin dan merusak hubungan silaturrahim antara sesama umat manusia. Allah memberikan tamsilan orang yang memiliki tiga sikap ini, seperti orang yang memakan daging saudaranya yang sudah mati. Tamsilan Allah ini menandakan betapa jelek, rusak dan berbahayanya sikap ini bila mengendap pada diri seorang muslim. Ketiga sikap ini, akan membawa kerusakan pada jiwa seseorang, baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan sosial.
Akibat berprasangka buruk (su’u al-dzan), mencari-cari kesalahan orang lain dan menggunjing orang lain, dapat memperkeruh suasana, menimbulkan ketidaknyamanan sosial, ketakutan, kekhawatiran dan bahkan dapat memecah persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh karena itu, Al-Qur’an menegaskan bahwa ketiga prilaku tersebut dinyatakan sebagai dosa yang harus dihindari oleh setiap mukmin. Hal ini diperkuat lagi oleh hadis Nabi Saw yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda yang artinya ; “Jauhkanlah dirimu dari berprasangka buruk, karena berprasangka buruk itu sedusta-dusta pembicaraan (yakni jauhkan dirimu dari menuduh seseorang berdasarkan sangkaan saja (H.R. Bukhari dan Muslim).
Kaum muslimim sidang jama’ah Jumat rahimakumullah
Upaya membangun dan menumbuhkan kesadaran untuk senantiasa berprasangka baik (husnu al-dzan) dan menghindari prasangka buruk (su’u al-dzan) adalah modal penting bagi penegakan syariat Islam di Aceh. Kita semua meyakini bahwa syariat Islam adalah satu-satunya jalan terbaik, bagi masyarakat Aceh dalam mewujudkan keadilan, kedamaian dan kesejahteraan. Tidak mungkin kiranya syariat Islam bisa tegak dengan sempurna di bumi Aceh, bila masih terdapat dalam dada dan pikiran orang Aceh sikap buruk sangka (su’u al-dzan), mencari-cari kesalahan orang lain dan menggungjing orang lain. Sikap ini dapat saja ditujukan seseorang kepada orang lain secara individu, atau ditujukan kepada pemimpinnya, lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, lembaga ekonomi, lembaga sosial, lembaga keagamaan dan lembaga-lembaga lain yang ada di tengah masyarakat. Sikap buruk sangka (su’u al-dzan) dapat menimbulkan kecurigaan, meruntuhkan kepercayaan dan berakibat fatal bagi penegakan syariat Islam.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
khatib ingin mengajak kita semua, untuk menumbuhkan kembali kesadaran berbaik
sangka kepada saudara kita yang mukmin, berbaik sangka kepada pemerintah,
kepada lembaga penegak hukum, dan berbaik sangka kepada lembaga-lembaga lain,
baik secara langsung atau tidak langsung memiliki kewenangan menjalankan
syariat Islam di Aceh. Tetapi harus
diingat, berbaik sangka bukan berarti membiarkan kemaksiatan dan kedhaliman
yang terjadi di sekitar kita. Setiap individu muslim, harus tetap kritis dan memberikan saran konstruktif bagi pembangunan
masyarakatnya. Setiap muslim memiliki kewajiban mencegah kemaksiatan dan
kemungkaran sesuai dengan kemampuan yang dimiliknya. Marilah kita ciptakan
suasanan damai, sejuk dan tenang dengan
tidak menampilkan prasangka buruk, kecurigaan yang tidak beralasan dan tidak
menyebarkan informasi yang belum tentu kebenarannya, terutama dalam suasana
politik menghadapi Pemilu 17 April 2019. Semoga Allah memberikan ketenangan dan
kedamaian kepada masyarakat Aceh dan Bumi
Serambi Mekkah yang kita cintai. Amin Ya Rabbal ‘Alamin…
[1] Guru Besar pada Pascasarjana UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh