Gema Jumat, 30 Oktober 2015
Oleh: Murizal Hamzah
Suatu ketika, seorang pekerja HAM bertanya apakah saya setuju pelaksanaan hukum cambuk? Saya menjawab setuju dengan alasan daripada disel. Bagi sebagian warga karena dipenjara berarti tidak bisa mencari rezeki. Dalam bahasa lain, mengurung warga di lembaga pemasyarakatan berarti mematikan mata pencaharian. Penjara itu sangat menyiksa karena fisik terpasung. Belum lagi pungli ketika keluarga membezuk dan sebagainya. Bahkan di penjara, narapidana bisa belajar berbagai ilmu kriminal dari penghuni lain.
Maka daripada disel, hukum cambuk untuk pemabuk, pemain judi dan berzina itu lebih baik bagi pelaku. Warga yang divonis itu tidak perlu berbulan-bulan di penjara. Ditangkap, diadili lalu divonis sekian cambuk.
Pada awal penerapan hukum cambuk, warga yang divonis cambuk itu tidak ditahan. Dengan demikian, mereka leluasa bekerja. Kini, yang akan dicambuk itu ditahan dengan alasan agar tidak kabur ketika disidang dan dicambuk. Satu bulan dipenjara mendapat diskon (dipotong) cambuk 1 kali. Pada awal penerapan hukum cambuk di Aceh pertengahan 2005 di Bireuen mengundang dukungan dan penolakan. Seiring berjalan waktu, cambuk itu terus berlanjut ke seluruh Nanggroe. Ada beberapa daerah yang tidak melaksanakan hukum cambuk namun pada pelaksanaan pencegahan terjadinya pelanggaran tersebut.
Minggu lalu, ada kabar yang menarik yakni berlakunya Qanun Jinayat Aceh yang menyebutkan pelaku homoseksual dihukum hingga 100 kali cambuk, denda 1 kilogram emas dan penjara 100 bulan. Sedangkan zina dicambuk 100 kali tanpa ada hukum tambahan denda atau penjara.
Apa kata pekerja HAM? Peraturan daerah Qanun Aceh nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayah digugat ke Mahkamah Agung (MA). Qanun (Peraturan Daerah) digugat karena dianggap bertentangan dengan KUHP serta melanggar traktat-traktat internasional yang melindungi hak-hak kaum minoritas.
Sebagaimana diketahui, hukuman maksimal agar warga yang berniat untuk melakukan kejahatan dapat mengurungkannya. Membayangkan hukuman berat, maka pelaku dapat berpikir lagi sebelum melakukan. Hukuman yang mendidik yakni mampu menyadarkan rakyat untuk membatalkan aksi munkar. Bukan menjadikan warga jera atau takut pada peraturan.
Kita dapat membedakan taat peraturan karena takut atau kesadaran. Jika karena takut, selama ada petugas atau kamera pemantau CCTV, warga tidak melakukannya. Sebaliknya jika tidak ada yang melihat, masyarakat melakukan pelanggaran. Sedangkan patuh karena kesadaran, diawasi atau tidak, rakyat tetap patuh.
Berkaitan dengan penerapan hukuman, kita sering mendengar ucapan penerapan hukuman itu seperti tajam ke bawah dan tumpul ke atas. untuk itu, sosialisasi penerapan hukum Syariat Islam harus dimaksimalkan kepada pelosok warga. perlu pemahaman yang sama antara pelaksana hukuman dan warga. dalam hal ini, kata kunci pada keadilan. Siapa pun yang melanggar menurut perda tersebut, maka cambuk 100 kali layak diderakan ke punggung pelaku. Bicara hukum adalah bicara keadilan yang sama di depan hukum. Sekali lagi kita sepakat dengan sabda Rasulullah, “Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri niscaya aku memotong tangannya.” (al-Bukhari dan Muslim)