Aceh memiliki hari istimewa, setiap tanggal 2 September diperingati sebagai Hari Pendidikan Aceh. Pendidikan di Aceh memiliki keistimewaan melalui UU No. 44 Tahun 1999 tentang Keistimewaan Aceh dan Pendidikan Aceh berbasis kekhususan, karena adanya UUPA No 11 Tahun 2006. Seharusnya kekuatan pendidikan berbasis kestimewaan dan kekhususan tersebut, Aceh dapat berkompetensi dalam kancah mutu pendidikan nasional.
Secara individu, banyak prestasi kecerdasan, inovasi, kreasi, perdebatan yang ditoreh dengan tinta emas, tidak hanya pada kancah nasional, bahkan dunia. Sering anak-anak dari Tanah Rencong ini memenangkan debat dan unggul pada olimpiade dan meraih puncak dalam kontes ilmu dan teknologi tingkat dunia.
Beberapa kali generasi emas Aceh berada di puncak atau posisi tiga besar perolehan nilai ujian nasional. Namun prestasi individual seperti ini bertolak belakang, ketika dalam kelompok besar kedaerahan, Aceh kalah bersaing dengan Yogya, Bandung, Jakarta, Surabaya dan kota lainnya.
Menyoal hal ini, Tgk Irawan Abdullah SAg mengemukakan, bahwa dalam memanfaatkan kekhususan dan keistimewaan di bidang pendidikan, Aceh harus mencari format grand design pendidikan, yang dapat mengatur performance siswa-siswinya. Juga materi kurikulum dapat mencari pola selama tidak menyalahi kurikulum yang telah diatur pada tingkat nasional.
“Dan tentunya Aceh akan lebih istimewa ketika memperoleh anggaran-anggaran dari dana Otsus untuk pendidikan sebanyak 20 persen dari anggaran daerah bagi Aceh,” tambah Ketua Komisi VI yang juga Wakil Ketua F-PKS DPR Aceh ini.
Adalah Dr. Mukhlisuddin Ilyas, tokoh muda dan pemerhati pendidikan Aceh turut sumbang saran dalam upaya menggenjot mutu pendidikan di Aceh. Menurutnya, perlu disusun kitab penyelenggaraan pendidikan Aceh dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). “Sudah seharusnya penyelenggara pendidikan kembali menyusun dan berpedoman pada RPJM. Di samping para penyelenggara pendidikan harus bersinergi, bekerja keras dan bukan momentumnya lagi saling menyalahkan. Kalau terus saling menyalahkan, tak mampu melakukan kolaborasi, maka pendidikan Aceh terus terpuruk,” ungkap Dosen Universitas BBG Banda Aceh ini.
Pendidikan itu integral satu elemen dengan elemen lainnya. Kalau merujuk pada sistem pendidikan nasional, maka terdapat 8 standar pendidikan nasional, yaitu standar isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan dan penilaian pendidikan. Berbasis itulah seharusnya “kekuatan” pendidikan Aceh diarahkan, bukan saja pembangunan fisik tapi harus merata pada 8 (delapan) standar tersebut, bila merujuk sistem nasional.
Adanya fakta prestasi kelulusan siswa-siswi Aceh kurang diperhitungkan pada tataran nasional, Mukhlis yang juga CEO Bandar Publishing ini menyebutkan, daya saing lulusan pendidikan Aceh rendah sekali. Makanya ini perlu kesadaran kolektif kita untuk membangun pendidikan Aceh. Secara perseorangan memang terdapat beberapa anak-anak Aceh yang sukses di level nasional dan internasional. Tetapi secara sistemik kita mengalami kendala dalam daya saing.
Ada faktor lain untuk meningkatkan konsentrasi anak didik di Aceh. Bila anak muda seusia sekolah dasar sampai menengah sibuk utak-atik dawai smartphone bergame ria, disebabkan banyak waktu luang siswa yang bersekolah non-boarding. Tetapi siswa “boarding school” lebih banyak mendapatkan tanggung jawab dan pengawasan pihak penyelenggara pendidikan.
Teungku Irawan memandang perlu, semua kabupaten di Aceh memiliki SMA berbasis boarding school. “Kami dari Komisi 6 DPRA selama ini secara khusus sedang memfokuskan pembahasan dengan dinas pendidikan mengenai keberadaan boarding school dan mendorong Pemerintah Aceh dalam hal ini Dinas Pendidikan Dayah agar semua kabupaten/kota menyediakan SMA boarding school,” harapnya.
Selama ini masyarakat yang berminat menyelenggarakan pendidikan anaknya sistem ini hanya terpaku pada SMA Modal Bangsa Blang Bintang, Fajar Harapan di Banda Aceh dan SMA Ali Hasyimi di Aceh Besar. Kita berharap semua kabupaten/kota di Aceh memiliki SMA Boarding, sehingga masyarakat yang antusias ingin menyekolahkan anaknya SMA Boarding bisa juga dilakukan di kabupaten/kota, ujarnya.
Lebih lanjut, Mukhlisuddin melihat perlu harmonisasi tripusat pendidikan seperti sekolah, orang tua dan masyarakat. Ketiga komponen ini haru memiliki kesadaran dan bersinerji. “Kalau tripusat pendidikan Aceh lemah, maka pendidikan Aceh terus lemah. Kalau merujuk sejarah Aceh, pendidikan Aceh masa lalu sukses pada masanya karena keterlibatan dan kontribusi tripusat pendidikan nyata sekali. hari ini, kenapa pendidikan Aceh lemah, karena kontribusi tripusat pendidikan lemah. Untuk memajukan pendidikan Aceh tidak boleh hanya pemerintah yang terus bergerak. Tapi Orang Tua dan Masyarakat Aceh secara umum juga harus memiliki kontribusi untuk memajukan pendidikan Aceh.
Aceh Carong
Lembaga penyelenggara keistimewaan Aceh seperti Majelis Pendidikan Aceh seharusnya dapat bersinerji dengan stake holder bersegera berbenah diri dalam melahirkan generasi cerdas, kreatif, inovatif dan berdaya saing. Sehingga dilema mencerdaskan masyarakat Aceh dapat terangkat dan layak menyandang predikat sebagai daerah istimewa pendidikan.
Dalam hal ini, Irawan Abdullah berharap keseriusan Pemerintah Aceh, MPA dan instansi terkait lainnya menutaskan grand design pendidikan Aceh segera tuntas dengan tetap dalam bingkai kekhususan keistimewaan, bersyariat Islam dan bernilai sejarah keacehan.
Tentu optimistis, bahwa mutu pendidikan Aceh Berjaya. “Kita dapat memanfaatkan dana otsus yang besar untuk pendidikan dan bagaimana fokusnya pemerintah dalam pendidikan sesuai RPJM, berkaitan dengan Aceh Carong.
Maka, tambah Tgk. Irawan, Aceh Carong harus fokus diarahkan pada kemampuan siswa-siswi Aceh agar mampu berkompetensi pada tingkat nasional. Sehingga even-even pendukung seperti olimpiade dan lainnya itu harus diperkuat.
Termasuk penguatan dalam berbagai lini. Misalnya SDM tenaga pengajar, kemampuan seorang Kepala sekolah untuk mampu memenej pendidikan sehingga anak-anak, guru mempunyai mutu yang baik dan memiliki fasilitas pendukung.
Selama ini kita menilai pembangunan banyak bertumpu pada insfrastruktu/gedung yang kadang ada gedung sekolahnya melebihi dari jumlah siswa-siswi yang ada bahkan semakin tahun ke tahun, ada beberapa SMA/SMK turun peminatnya, dan ruang sekolah banyak tidak terpakai secara masksimal.
Termasuk menjamurnya Sekolah menengah kejuruan (SMK), banyak dibangun tetapi hampir sama jurusannya. Seharusnya SMK disesuaikan dengan kebutuhan, seperti menjurus pengembangan pertanian, peternakan atau otomotif, berdasarkan peta kelaziman. Jangan sampai terkesan, membuka SMK itu hanya ada permintaan dari pusat dan diberikan dana besar. Ison