Peristiwa dahsyat tsunami yang terjadi pada tahun 2004, kini sudah 18 tahun. Pada 26 Desember 2004, hampir seluruh pesisir Aceh sampai beberapa kilometer daratan disapu gelombang tsunami dahsyat pasca gempa berkekuatan M 9,3 yang terjadi di dasar Samudera Hindia.
Peristiwa itu terjadi pada hari Ahad pagi, hari yang bagi masyarakat biasanya menikmati hari libur berkumpul bersama keluarga. Musibah besar itu membuktikan manusia tak berdaya berhadapan dengan alam yang tengah menunjukkan kekuatannya.
Tsunami Aceh didahului gempa yang terjadi pada pukul 07.59 WIB. Tak lama setelah itu, muncul gelombang tsunami dengan kecepatan tinggi menuju daratan hingga 100 meter per detik, atau 360 kilometer per jam.
Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan bencana ini sebagai bencana kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi, keesokan harinya. Maka sejak itu, bantuan dunia pun berdatangan, termasuk pesawat militer dari Jerman hingga kapal induk milik Amerika Serikat di datangkan mendekati lokasi bencana. Bencana besar itu memberikan dampak multidimensi, meliputi sosial budaya, ekonomi, infrastruktur dan tentu saja psikologis yang sulit dipulihkan. Karena warga kehilangan tempat tinggal, anggota keluarga, teman, dan seluruh lingkungan atau komunitas dan mengalami trauma berkepanjangan.
Walau 18 tahun berlalu, gempa dan tsunami Aceh masih menyisakan luka bagi para korban. Masih banyak para orang tua dan anak menitikkan air mata mengingat orang terkasih hanyut bersama gelombang tsunami di depan mata. Dan 18 tahun juga sudah berlalu, banyak berdiri bangunan dan tatanan kehidupan yang berbeda dari sebelum tsunami.
Menurut Anggota DPD RI/MPR RI, HM. Fadhil Rahmi, Lc, MA, Banyak peristiwa yang kita alami sebagai hikmah pasca tsunami. Yang paling jelas tercapainya perdamaian untuk Aceh secara kongkrit antara pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI melalui dialog-dialog sehingga menghasilkan MOU Helsinki dan sekaligus mata dunia kembali tertuju ke Aceh.
“Kalau secara agamis tsunami itu adalah pembuktian bahwa ada kekuatan yang lebih besar yaitu kita melihat adanya kebesaran Allah artinya tidak ada yang mustahil terjadi jika Allah sudah berkehendak dengan sangat mudah bagi-Nya, kun fayakun,” ungkapnya. Kita berharap, pasca tsunami ini yang sudah 18 tahun bisa membawa kehidupan lebih baik lagi.
Dengan terjadinya tsunami itu menjadi momentum besar bagi Aceh untuk bisa membangun Aceh ke depan agar lebih baik. Perlahan-lahan kita harus akui walaupun belum signifikan, Aceh sudah bangkit walau masih banyak kekurangan yang harus dibenahi bersama.
“Kehidupan ini dinamis dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun. Kita berharap pasca 18 tahun ini akan lebih baik lagi, baik di ranah ekonomi, sosial kemasyarakatan juga dalam dunia politik, muamalah”, tambahnya.
Menurut Fadhil, hikmah tsunami juga harus disyukuri karena Aceh diberi keistimewaan dalam penerapan syariat Islam dan beberapa hal lain kekhususan. Anugerah ini harus terus dijaga, disempurnakan dan dimaksimalkan untuk kehidupan di segala bidang yang lebih baik.
Guru Besar Sosiolog Universitas Syiah Kuala (USK) Aceh, Prof. Dr. Ir. Ahmad Humam Hamid MA, mengatakan, Bencana alam apa pun bentuknya ada sesuatu peluang yang tidak diketahui sebelumnya. Kita harus sadar ada keterbatasan yang kita miliki sebagai makhluk Allah. Ketika melihat bencana seperti tsunami, ternyata kita tidak ada apa-apanya. Maka belajar dan melihat pengalaman orang lain niscaya akan membuat lebih baik lagi.
“Pengalaman kolektif ini seharusnya menjadikan agar kita tidak lalai dan terus-menerus menghidupkan kewaspadaan mitigasi, baik secara mental maupun tindakan mulai dari individu, rumah tangga, komunitas dan pemerintah,” jelasnya.
Humam menambahkan, belum ada kajian yang mengukur dampak dari tsunami dengan sempurna dan akurat. Namun proses rehab rekontruksi telah diselesaikan dengan baik yang diakui oleh lembaga-lembaga internasional. Bila didapat belum sempurna tentu dapat dilanjutkan oleh komunitas, LSM maupun pemerintah.
Setelah 18 tahun tsunami, rasa kemanusiaan itu masih ada, namun tentang grafik turun naik menjadi tanggung jawab bersama. “Rasa kemanusiaan tak akan tumbuh subur dalam masyarakat yang tidak ada trust dan keteladanan terutama dari pemimpin,” ujarnya.
Di kesempatan lain, Dr H. Fuad Mardhatillah, MA Phils, Dosen Filsafat Ilmu/ Pendidikan, UINAR, Banda Aceh mengatakan, Saya sebagai salah seorang yang ikut merasakan ketika peristiwa tsunami terjadi. Kita lupa terutama dalam konteks kepemimpinan Aceh, kepemimpinan yang tidak lagi peduli kepada rakyat, kepada keadilan dan kepada ketaatan aturan dan sebagainya, sehingga tsunami itu memberikan hikmah kepada kita di mana banyak orang membantu dan membangun kembali Aceh.
“Ibrah itu luput dari kita, Aceh masih berantakan, lebih berantakan dari sebelum tsunami. Memang bangunan-bangunannya sudah terbangun dengan megah termasuk yang ditangani BRR maupun negara-negara asing lainnya. Dari segi pemerintahannya, sama sekali tidak ada pembelajaran sama sekali, seperti masyarakat bertambah sombong, serakah dan tidak ada kepedulian satu sama lainnya,” ungkapnya.
Begitu banyak dana yang terkumpul di Aceh pasca-tsunami dan konflik, kemudian lahir otonomi khusus yang banyak uangnya, tapi mereka saling berebut dan tidak peduli untuk membangun kesejahteraan rakyat yang lebih baik dengan prinsip-prinsip keadilan, bersih, amanah dan sebagainya.
“Kita tidak belajar dari pengalaman, tambah merasa tidak ada rasa kemanusiaan dalam pergaulan hidupnya, tidak manusiawi. Kelompok agama pun saling bertikai, beda sedikit mazhab sudah saling menyerang dan tidak bersahabat lagi. Padahal apa yang diperebutkan, soal akidah itu tanggung jawab masing-masing, persoalan perseorangan. Kita bisa membangun kehidupan bersama yang adil, damai bukan saling berkonflik,” ujarnya.
Fuad menambahkan, ketika pasca tsunami dunia simpati dan peduli pada Aceh, tidak peduli ras, suku, agama, tapi mereka datang membantu Aceh. Harusnya kita bisa belajar dari hal tersebut. Padahal kita satu, berkalimah syahadat satu tapi malah tidak akur.
Banyak perubahan setelah tsunami, tapi sifatnya hanya fisik saja. Manusianya tidak berubah, tambah elit tambah kacau, sibuk dengan korupsi dan sibuk dengan perebutan kekuasaan, tidak ada yang menghasilkan sesuatu untuk mensejahterakan rakyat. Banyak masalah yang terjadi, bendungan, air bersih, jalan untuk kepentingan rakyat itu tidak ada. Sedangkan kantor-kantor pemerintahan banyak dibangun oleh BRR.
Dari sisi lain, bangunan banyak berubah dan bertambah seperti bandara. Tetapi setelah otonomi khusus sampai sekarang tidak satu bekas pun yang nampak, hanya terlihat Masjid Raya Baiturrahman yang dibangun menyerupai masjid Madinah.
Menurutnya, sekarang ini sangat dibutuhkan adalah pembangunan rumah-rumah dhuafa, membangun ekonomi rakyat, membuat industri kecil, memberdayakan rakyat yang berkesinambungan. Tetapi tidak ada konsep-konsepnya sama sekali. Bahkan orang mau membantu pun ke sini sudah malas datang. Para-investor yang tadinya ingin datang ke Aceh semua membatalkannya.
“Dua periode Aceh mencari investor ke luar negeri sampai seratusan investor sempat menyatakan berinvestasi, tapi tidak ada satu pun yang terealisasi. Sekarang malah lebih terpuruk dari sebelumnya. Peristiwa tsunami yang sudah 18 tahun ini masih belum bisa memberikan pelajaran untuk kita lebih baik lagi,” tegasnya. Eriza (Editor: Ison)