Gema JUMAT, 14 Agustus 2015
Oleh : Murizal Hamzah
“Demi Allah, Wallah, Billah, saya setia membela kemerdekaan Republik Indonesia sampai titik darah saya yang terakhir.” Kutipan ini bertarikh, Rabu, 23 Agustus 1945 di Kutaraja. Ketika itu, 56 tokoh masyarakat tumpahruah di Shu Chokan (Kantor Residen Aceh). Teuku Nyak Arief memegang Al-Qur’an. Lafal tersebut diikuti oleh seluruh peserta rapat untuk sumpah setia kepada Indonesia.
Titik perubahan di Indonesia meledak pada awal Agustus 1945. Diawali dari bom atom yang dijatuhkan oleh Amerika dan sekutunya di Hiroshima pada Senin, 6 Agustus 1945 dengan pesawat pembom Enola Gay berkekuatan 20 ribu ton TNT. Tiga hari kemudian, bom serupa dijatuhkan di Nagasaki pada Kamis, 9 Agustus 1945. Pesawat pembom Grande Artiste memaksa Jepang mengakhiri Perang Pasifik (1941-1945) yang mengubah peta politik dunia. Dua bom ini mengakhiri Perang Dunia II. Jepang Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada Selasa, 14 Agustus 1945. Dua bom itu sebagai balasan atas serangan Jepang terhadap pangkalan laut Pearl Harbour milik Amerika di Pulau Oahu, Hawaii, Honolulu. Masih pada 14 Agustus 1945, Presiden Amerika Harry S. Truman dan Perdana Menteri Inggris Clement Attlee mengumumkan ke seluruh dunia bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu yang menyebabkan vacuum of power di seluruh Asia Tenggara termasuk Indonesia. Esoknya, 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito melalui radio mengumumkan Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Indonesia mencuri momentum kekosongan penjajah. Sukarno menandatangani teks proklamasi Pukul 02.00 dini hari 17 Agustus 1945. Sekitar pukul 10.00 pagi Jumat,7 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta atau menurut tahun Jepang tanggal 17 Augustus 2605 Dokuritsu Junbi Inkai, Sukarno membaca teks proklamasi. Pejuang kemerdekaan Otto Iskandardinata mengusulkan Sukarno sebagai presiden dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden. Tidak ada resepsi atau makan minum usai pembacaan itu sebab sedang berpuasa 8 Ramadhan 1364 H.
Seminggu kemudian, genderang proklamasi di Jakarta merayap ke Aceh.
Siapa yang pertama mendengar kabar proklmasi di Aceh? Adalah Abdullah Hussain yang mengetahui melalui radio di Aceh Timur dan menyampaikan kepada Teuku Nyak Arif di Kutaraja. Pada 21 Agustus 1945 Teuku Nyak Arif, Teuku Panglima Polim Mohammad Ali dipanggil oleh Cokang S. Lino ke kantornya yang menerangkan bahwa Jepang telah berdamai dengan sekutu. Sebutan senada dimuat di koran Atjeh Sinbun bahwa Jepang sudah berdamai dengan Sekutu. Bukan menyerah.
Kemudian, pesawat tempur Sekutu menjatuhkan selebaran di Kutaraja dan kota-kota lain di Aceh pada tanggal 27 Agustus 1945 yang berisi bahwa perang telah selesai dengan Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu.
Gemuruh ini berlanjut pada tindakan spektakuler oleh empat ulama besar mengeluarkan maklumat yang terdiri dari delapan alinia. Seruan untuk terus berperang karena Belanda mau ke Aceh setelah Jepang menyerah.
Mereka terdiri dari Teungku Hasan Krueng Kaléé, Teungku Muhammad Daud Beureuéh, Teungku Djakfar Sidik Lamdjabat, dan Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri serta diketahui oleh Teuku Nyak Arief (menjadi Residen Aceh sejak akhir September 1945) dan disetujui oleh Ketua Komite Nasional Daerah Atjeh (KNIDA) Tuanku Mahmud pada Senin, 15 Oktober 1945.
Dukungan ulama adalah tiket Aceh masuk ke wadah RI. Ulama Aceh memilih bersekutu dengan RI karena beberapa sebab seperti menghindari perbudakan kembali rakyat Indonesia oleh penjajah. Daripada bersahabat dengan Belanda yang kafir lebih baik berteman dengan Jepang yang berjanji membebaskan Asia.
Setelah Jepang takluk pada 1945, ulama di Aceh secepat kilat memaklumatkan bergabung dengan RI karena salah satu faktor seaqidah dan semangat Pan Islamisme. Patut dicatat, Aceh termasuk yang pertama menyatakan setia kepada RI. Demikianlah. Dirgahayu HuT RI ke 70 menuju masyarakat yang adil dan makmur.