Gema JUMAT, 9 Oktober 2015
Oleh : Ameer Hamzah
Inna Lillahi Wa Inna Ilaihi Raji’un-Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali. Semua yang bernyawa pasti akan mati. Cuma waktunya rahasia Allah SWT. Kita keluarga besar MRB (Masjid Raya Baiturrahman) Banda Aceh turut berduka cita yang se dalam-dalamnya atas meninggal dunia seorang ulama senior Aceh, Tgk H. Idris Bin Mahmud , Ahad (6/9) lalu, dan dikebumikan hari itu juga.
Abu Idris memang ulama kharismatik di Aceh Besar, beliau murid dari Abu Hasan Kruengkalee ulama Besar yang sangat terkenal itu. Hari meninggalnya cukup banyak orang yang melayatnya, ribuan orang. Ini menunjukkan bahwa beliau sangat dicintai masyarkat Aceh. Jasa beliau untuk bangsa antara lain; turut mendamaikan Pemerintah dengan DI/TII tahun 1959. Beliau juga turut membangun Kopelma Darussalam, demi kemajuan pendidikan di Aceh.
Abu Idris ulama yang cinta damai. Ketika mahasiswa dan Brimob berhadap-hadapan di jembatan Lamnyong tahun 2003, Abu Idris takut jatuh korban di kalangan mahasiswa, makanya beliau dengan gagah berani menerobos barisan Brimob dan mengemandangkan azan atas jembatan. Berkat gema azan, Brimob menarik pasukannya dan mahasiswa kembali ke kampus.
Abu Idris termasuk ulama yang sukses dalam mendidik anak-anaknya, semua dapat menyelesaikan kuliah, bahkan ada yang menjadi guru besar yakni Asy-Syahid Prof. DR. H. Safwan Idris, MA waktu itu sebagai rektor IAIN Ar-Raniry. Seorang mantu Abu Idris adalah Prof. DR. H. Azman Ismail, MA , Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman yang juga guru besar di UIN Ar-Raniry. Tgk Azman adalah suami dari Dra. Hj. Tasnim Idris, MA. Dosen UIN Ar-Raniry saat ini.
Seorang menantunya, Abu Ilyas Yusuf menyebutkan; Abu waktu hidupnya selalu shalat berjamaah dan berdakwah. Cara beliau berdakwah bukan di mimbar, tetapi di lapangan. Jika beliau melihat ada yang berpacaran, langsung menegur, orang main dadu juga ditegur, orang perempuan yang memakai celana ketat juga ditegur.”Tidak ada yang melawan dan membantah, malah mereka patuh dan memperbaiki diri,” inilah kehebatan Abu, kata Abu Ilyas.
Jumat, 25 September 2015, pukul, 02.30 WIB saya sempat membezuk Abu Idris di mushallanya. Beliau memang sudah uzur, tidak mengenal lagi. Mungkin saja beliau mengenal, tetapi tidak bisa lagi berkomunikasi. Saya memcoba bersuara agak sedikit besar dan saya menyebut nama. Seperti ada reaksi, beliau memijat-mijat tangan saya, dan sayapun memijat-mijat kepala beliau. Agak lama juga saya duduk di sisi beliau yang tidur terlentang.
“Saya berdoa, ya Allah sangat berkat usianya, berilah ya Allah agar beliau selalu dalam keimanan dan ketakwaan. Ya Allah sehatkanlah hamba-Mu ini, ya Allah berilah beliau husnul khatimah”. Saya juga baca beberapa doa muktabar untuk beliau. Kemudian saya minta pamit untuk pulang. Itulah perjumpaan terakhir saya dengan beliau. Dulu waktu mahasiswa saya sering belajar pada beliau tentang bahasa Arab dan ilmu sejarah Islam.
Beberapa hari kemudian Prof Azman memberitahukan saya, bahwa Abu dirawat di rumah sakit. Dan pagi, Ahad beberapa SMS masuk ke HP saya, bahwa Abu Idris meninggal dunia. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi rajiun. Summa Ilaihi raji’un. Menurut Prof Azman, Abu tutup usia 110 tahun.