Oleh: Hasanuddin Yusuf Adan, Dosen Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Ar-Raniry
Aceh merupakan suatu wilayah yang memiliki alam, sumber alam, bangsa yang beragama Islam, adat budaya (tamaddun), bahasa, dan iklim yang pada suatu masa ia merupakan sebuah negara berdaulat. Selaras dengan perjalanan masa, kini Aceh menjadi satu provinsi dalam wilayah negara Indonesia yang tidak memiliki wewenang untuk mengatur diri secara komprehensif sebagaimana ketika menjadi sebuah negara berdaulat dahulukala. Pada zaman Iskandar Muda Aceh pernah menjadi lima besar kuasa Islam di dunia, yaitu: Kerajaan Islam Turki Usmaniyah yang berpusat di Istanbul Asia Minor, Kerajaan Islam Morroko di Afrika Utara, Kerajaan Islam Isfahan di Timur Tengah, Kerajaan Islam Akra di anak benua India, dan Kerajaan Islam Aceh darussalam di Asia Tenggara.
Dalam zaman keemasannya Iskandar Muda memimpin negeri Aceh yang wilayahnya melampaui semenanjung Malaya, Pulau Sumatera dan beberapa wilayah lain di belahan Asia Tenggara. Tatkala itu pula Aceh menjadi sebuah Negara Islam yang sumber hukumnya: Al-Quran, Al-Hadits, Ijmak dan Qiyas. Hukum yang berlaku di Aceh pada masa itu adalah syariah (hukum Islam), hukum Islam tersebut berlaku adil, menyeluruh dan tidak pandang bulu walaupun kerabat diraja yang melanggarnya tetap dihukum sesuai dengan ketentuan syariah.
Sebagai contoh kasus; Sultan Iskandar Muda pernah merajam satu-satunya anak lelaki sebagai putera mahkota dalam kerajaan karena terbukti berzina dalam posisi pezina muhshan. Walaupun para pembesar kerajaan mencegah raja agar tidak merajam Putera Mahkota dengan berbagai alasan dan sejumlah cara, namun sang raja adil Iskandar Muda tidak pernah tergiur oleh bujuk rayu manusia karena hatinya sudah terikat dan melekat dengan ketentuan Allah Ta’ala. Manakala tuntutan pembebasan Meurah Pupok dari hukuman rajam semakin meninggi, raja gagah perkasa tersebut berucap tegas: mate aneuk meupat jeurat gadoih hukom ngon adat pat tajak mita.
Pemberlakuan syariah juga pernah berlaku pada zaman Sultan Alaiddin Al-Qahhar terhadap puteranya yang suka mengganggu dan malah menghabisi nyawa rakyatnya. Abangta ditangkap, demikian nama putera sultan Al-Qahhar yang suka bikin kacau dalam negeri sehingga dikenakan hukuman Islam dalam bentuk qishash. Dua kasus tersebut nyata menjadi sampel dan contoh konkret kalau Aceh memberlakukan hukum Islam tidak pandang bulu pada zaman kerajaan ketika Aceh berdaulat sebagai sebuah negara. Kini Aceh juga berlaku syariat Islam tetapi masih didominasi oleh jarimah ta’zir sehingga rajam dan qishash belum berlaku.
Sulit dibantah kalau aplikasi syariah di Aceh pada zaman dahulu menyatu dengan sosialisasi siyasah yang diamalkan oleh seorang raja. Raja yang berdaulat lagi mencintai syariat Islam menggunakan kekuasaannya untuk mngamalkan hukum Allah terhadap segenap anak bangsa yang melanggar syariah. Kekuasaan itu identik dengan serpihan siyasah yang melekat pada seorang raja dan penguasa. Manakala Aceh hari ini sebagai salah satu provinsi termarginal dalam wilayah Republik Indonesia yang dipimpin oleh seorang gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah Indonesia, maka sang gubernur sering lebih memilih bertahan dalam jabatan gubernurnya ketimbang menegakkan syariah sebagai perintah Allah.
Ketika itu yang terjadi maka kedua aplikasi; syari’ah dan siyasah menjadi hambar, puntung, pincang dan tidak dapat ditegakkan sebagaimana mestinya semisal yang dilakukan dua raja Aceh dahulukala. Siyasah itu dapat dijadikan alat untuk mengaplikasikan syariah di Aceh dan syariah itu sendiri menjadi konsep jitu yang komprehensif sebagai pengatur kehidupan ummah. KetikaAceh lepas dari salah satunya, maka Aceh akan berjalan pincang, apalagi kalau lepas keduanya, maka Aceh menjadi seperti orang puntung yang tidak memiliki tangan atau kaki.
Itulah sebabnya kenapa Aceh harus berlaku syariah dan siyasah. Ketika keduanya berjalan lancar tempo dulu rakyat dan bangsa Islam di Aceh hidup tenang penuh rukun dan damai sesama anak bangsa. Raja dicintai oleh rakyat dan rakyat dicintai oleh raja. Rakyat Aceh rindu dengan suasana seperti itu wujud kembali dalam kehidupan hari ini walaupun Aceh hanya dipimpin oleh seorang gubernur bukan oleh raja. Kalau kita mau ambil sampel yang ada di depan mata adalah DKI Jakarta yang dipimpin oleh Anis Baswedan yang jauh beda dengan Aceh yang dipimpin oleh seorang aktivis partai politik yang terkesan impoten siyasah dan cedera dalam syariah yang membuat rakyat hidup nafsi-nafsi. Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh yang melimpah tidak mengalir kepada rakyat, malah tersisa dalam SILPA setiap tahunnya.[]