Oleh : Oleh Muhammad Alkaf
Apa yang dilakukan oleh Abu Dawud Beureuh ketika dan sebelum peristiwa Aceh 1953, hampir semua tahu. Sebab dia memang tokoh besar yang ikut mengharu-birukan jagat Aceh selama abad ke 20, dan bahkan masih kita rasakan warisannya sampai sekarang.
Tetapi, apa yang dilakukannya setelah peristiwa Aceh itu belum banyak diketahui, kecuali pekerjaan besarnya bersama rakyat yang mencintainya membangun irigasi sepanjang Beureuneun. Rasa penasaran itu pun menggerakkan saya untuk mencari tahu.
Lalu, tanpa sengaja, hampir setahun lalu peristiwanya, saya menanyakan itu kepada Muhammad Amin, seorang aktivis politik Aceh sejak mudanya, dalam perjumpaan yang tidak direncanakan setelah shalat Jumat di Mesjid Agung Al Makmur, Banda Aceh.
Untuk pertanyaan itu, jawaban Muhammad Amin berbekas sekali bagi saya: “Dulu, Abu Dawud membuat pengajian di Mesjid Beureuneun dengan mengundang para teungku gampong. Disitu dibahas apa masalah yang dihadapi para teungku di gampong, dan dicarikan solusinya dalam pengajian tersebut.”
Narasi di atas agak sedikit panjang, hanya untuk menjelaskan dimana posisi mesjid dan politik dalam masyarakat Aceh.
Mesjid Beureuneun, nama sebenarnya adalah Baitul A’la Lil Mujahidin, itu adalah contoh terbaik dari hubungan tersebut. Masjid yang didirikan setelah gonjang-ganjing politik Aceh dengan Jakarta mulai mengemuka. Dan, ketika pembubaran provinsi Aceh terjadi, Abu Dawud Beureuh pun meninggalkan kedudukannya di Banda Aceh dan memilih tinggal bersama rakyat yang mencintainya itu di Beureuneun.
Hubungan antara mesjid itu dengan Abu Dawud dilukiskan dengan baik oleh Boyd R. Compton, yang mengunjungi Aceh menjelang meletusnya pemberontakan Darul Islam: “Mobil kami baru saja melewati pasar riuh desa Daud Beureuh, ketika kami melihat masjid setengah jadi itu. Kalaulah Daud Beureuh adalah kunci untuk memahami Aceh, saya kira bangunan ini –yang sangat penting tapi tak utuh– merupakan simbol dari watak dan sikap Daud Beureuh sekarang ini.”
Dalam waktu yang sangat lama, Mesjid Baitul A’la Lil Mujahidin ini menjadi simbol tarik menarik antara garis politik di Aceh dengan menghadirkan sentimen aliran keagamaan. Kasus Tgk H Faisal Hasan Sufi, 17 tahun lalu, adalah fakta yang tidak bisa dibantah sama sekali akan keterkaitan itu.
Atau juga, Masjid Baitul A’la Lil Mujahidin menjadi saksi bagaimana usaha pemindahan otoritas kepemimpinan secara sistematik oleh kelompok teknokrat, dalam hal ini dimainkan oleh Golkar dari kepemimpinan ulama, yang diwakili oleh PUSA.
Untuk itu, maka menarik untuk membaca liputan Panji Masyarakat, edisi 11 Oktober 1986, dengan judul ‘Gubernur Aceh di Bawah Bayang-Bayang Daud Beurueh’. Liputan tersebut diturunkan untuk merespon pelantikan Ibrahim Hasan sebagai Gubernur Aceh. Ibrahim adalah gubernur Aceh yang mewakili dua entitas; tehnokrat yang menjadi mesin politik Golkar dan, dengan meminjam terma Ali Hasjmy, mewakili angkatan Darussalam.
Tetapi, walau secara struktrual, Ibrahim Hasan sebagai pemimpin Aceh, namun kharisma dan otoritas masih berada di tangan Abu Dawud Beureuh, yang sedang terbaring lemah di salah satu sudut mihrab Mesjid Baitul A’la Lil Mujahidin tersebut.
Karena itu, Ibrahim Hasan harus bergegas ke Beureuneun untuk menjabat dan mencium tangan Abu Dawud Beureuh: meminta restu memimpin Aceh. Dan peristiwa politik, yang sebenarnya sangat epik itu, berlangsung di mesjid!
Maka, bila merekflesikan peristiwa politik tersebut di atas, pantaslah bila kita mengatakan, bahwa masjid di Aceh tidak dapat dipisahkan dari politik sama sekali. Hal ini sekaligus menjelaskan, bahwa Islam dan politik di Aceh akan terus terikat dalam waktu yang lama.
Penulis, pengelola www. bung-alkaf.com,sebuah blog yang fokus pada sejarah, budaya dan perubahan sosial.