Jum’at, 31 juli 2015 M/ 15 syawal 1436 H
Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman)
Katakanlah: “Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?” Katakanlah: “Allah. Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. Dan Al Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al Qur’an (kepadanya). Apakah sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhantuhan yang lain di samping Allah?” Katakanlah: “Aku tidak mengakui”. Katakanlah: “Sesungguhnya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)”. (QS. Al-An’am 19).
Permasalahan keimanan dan ketauhidan dalam alQur’an memiliki porsi yang istimewa. Keimanan terhadap ke-Esa-an Allah selalu dinyatakan dalam ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa ada yang ‘salah’ terhadap keimanan orang-orang terdahulu dan mungkin sampai sekarang. Permasalahan yang sering muncul adalah kekeliruan memahami ketauhidan kepada Allah. Dalam ayat tersebut di atas diungkapkan keotentikan al-Qur’an sebagai wahyu yang memiliki kekekalan substansi sebagai peringatan bagi umat manusia. Peringatan bahwa Allah sebagai tuhan yang berhak disembah dan tidak ada tuhan lain yang menjadi sekutu bagi kekuasaan-Nya yang tak terbatas dan tak terbantah.
Meski demikian, dalam berbagai ayat di dalam alQur’an, pengingkaran terhadap isi al-Qur’an, kekuasaan Allah bahkan ketauhidan selalu dihadapi oleh umat nabi-nabi terdahulu. Tidak terkecuali nabi Muhammad saw. Al-Quran adalah sebagai manhaj keimanan kita. Siapapun yang telah mengakui Nabi Muhammad adalah nabinya maka al-Qur’an menjadi petunjuk dalam kehidupannya serta berani mendakwahkan kebenaran risalah tauhid sejati.
Berkenaan dengan ayat di atas diceritakan bahwa ayat tersebut merupakan dialog antara Nabi Muhammad dengan beberapa orang kafir. Asbabun nuzul ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Ishaq dan Ibnu Jarir, dari Sa’id atau ‘Ikrimah yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas bahwa anNahham bin Zaid, Qarum bin Ka’b, dan Bahri bin ‘Amr menghadap Rasulullah saw. dan berkata: “Hai Muhammad. Engkau tidak mengetahui ada tuhan selain Allah.” Bersabdalah Rasulullah saw.: “Tiada tuhan melainkan Allah. Dengan (membawa penjelasan) itu aku diutus, dan kepada (kepercayaan) itu aku mengajak (berdakwah).” Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai penegasan bahwa Allah Maha Esa, sebagai mana mereka ketahui dalam kitab Taurat.
Tidak ada yang lain yang ingin disampaikan Allah melalui al-Qur’an, kecuali kebenaran terhadap orangorang kafir, serta i’tikad tauhid merupakan esensi keimanan yang tidak bisa ditawar. Demikianlah kita seharusnya, jika ditanyakan tentang keimanan kepada Allah, maka harus menjawab sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah di atas, bahwa Allah adalah Esa, dan kita tidak pernah mengakui adanya tuhan selain Allah. Demi keesaan Allah itulah kita berdakwah. Inilah esensi dakwah yang sebenarnya, dan kita meski mengikuti cara Rasulullah yang istiqamah dalam berdakwah tauhid. Laa ilaaha illa Allah. Muhammad Rasulullah.n