Oleh : Dr. Fauzi Saleh, Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Manusia dalam menjalankan amanah ini terbagi dua golongan: pertama, mereka yang diazab oleh Allah swt karena mengkhianati amanah yang dititipkan kepadanya. Kedua, mereka yang bertaubat kepadaNya atas kekeliuruan dan kekhilafan dalam menjalankan-Nya.
Tidak ada beban yang paling berat dalam kehidupan ini melebihi beban menjalankan amanah. Hal itu karena amanah merupakan kepercayaan Allah kepada hamba-Nya untuk dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya di hari kiamat kelak. Bagi mereka yang berhasil melaksanakan amanah itu dengan baik, maka Allah akan memberikan penghargaan yang luar biasa berupa perlindungan di tengah huru-hara kiamat. Sementara mereka yang menyia-nyiakan amanah, maka Allah akan memberikan balasan yang amat pedih di hari kiamat kelak. Beratnya beban amanah itu terdeskripsikan dalam AlQur’an surah Al-Ahzab: 72
Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat[1233] kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.
Allah swt menutup surah ini dengan menggarisbawahi keagungan sebuah amanah. Hal itu karena amanah itu beban yang harus dipikul dengan susah payah sehingga langit dan bumi tidak mampu
memikulnya. Sementara manusia merasa dirinya mampu dan siap menanggung beban amanah tersebut. Ini merupakan kedhaliman yang besar kepada diri manusia itu sendiri mengingat bahwa manusia memiliki kelemahan, dorongan hawa nafsu, kecenderungan yang irrasional, konfl ik kepentingan, kekurangan ilmu dan keterbatasan umur.
Tawaran amanah kepada langit dan bumi menurut sebagian mufassir merupakan bentuk kiasan (metafora) yang dimaksudkan bahwa keduanya tidak akan sanggup memikul beban yang amat berat ini. Amanah itu menjadi penyebab diazabnya kaum munafi k dan musyrik karena tidak mampu menjalankannya dan diberikan kepada mukmin karena menjaga dan memeliharanya sesuai dengan titah Allah Swt.
Manusia dalam menjalankan amanah ini terbagi dua golongan: pertama, mereka yang diazab oleh Allah swt karena mengkhianati amanah yang dititipkan kepadanya. Kedua, mereka yang bertaubat kepada-Nya atas kekeliuruan dan kekhilafan dalam menjalankanNya dan Allah menerima taubatnya.
Tidak ada iman seseorang yang tidak amanah (HR. Ahmad)
Hadits tersebut sangat revelan dengan dasar kata amanah itu sendiri dari amana- ya’mana amnan yang secara harfi ah bermakna aman. Maka dengan amanah itu akan merasa aman dan itu menjadi petanda bagi orang beriman.
Menurut Wahbah alZuhayli, amanah mencakup amanah kepada Allah, amanah pada hak-hak diri sendiri dan amanah pada hak-hak orang lain.
Suatu ketika Abu Dzar menghadap Rasulullah saw meminta jabatan, maka Rasul saw bersabda: Wahai Abu Dzar, sesungguhnya kamu adalah orang yang lemah, dan jabatan itu adalah amanah yang pada hari kiamat akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang dapat melaksanakan kewajibannya dan melaksanakan tanggungjawabnya (HR. BUkhari Muslim).
Mufassir menguraikan bahwa amanah memiliki makna yang banyak mencakup, pertama, melaksanakan ketaatan dan apa saja yang difardhukan Allah swt. sebagaimana disebutkan Ibn
‘Abbas. Kedua, melaksanakan shalat, puasa, haji, berkata jujur, menunaikan hutang, adil dalam timbangan dan menunaikan barang titipan sebagaimana yang diungkapkan Ibn Mas’ud. Ketiga, menjalankan perintah dan menghindar larangan sebagaimana disebutkan Abu al-‘Aliyyah. Keempat, puasa, mandi junub dan rahasia syariat lainnya sebagaimana disebutkan Zaid ibn Aslam. Kelima, menunaikan perjanjian di antara manusia dan tidak boleh menipu sesamanya sebagaimana disebutkan Ibn Abbas. Dari sejumlah defi nisi tersebut, maka kemepimpinan merupakan bagian amanah yang berat.
Kepemimpinan merupakan perihal kepemipiminan atau cara memimpin. Memimpin bermakna mengetuai atau mengepalai, memenangkan paling banyak, menuntun, memandu dan melatih. Kemimpinan dari asal kata di atas merupakan beban tanggung jawab yang paling besar karena ia menjadi guru bagi yang dipimpinnya. Pemimpin memikul tanggung jawab amat berat sejak dalam kehidupan dunia hingga di hadapan Allah Rabbul ‘Izzati.
Hadirin sidang jamaah Jumat yang dirahmati Allah swt.:
Amanah sebagai pemimpin dapat diklasifi kasikan dalam tiga bentuk:
Pertama, amanah pemimpin publik. Amanah ini bemakna menyiapkan kebutuhan dan hajat orang yang banyak dengan seribu satu macam problematikanya. Pemimpin merasa bahagia karena Allah memberikan kesempatan baginya untuk mengabdi kepada masyarakat dan menghabiskan waktu siang dan malam untuk melayani rakyatnya. Sebagai balasannya, Allah memberikan kepadanya perlindungan yang penuh di hari kiamat kelak nanti.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda:
Abu hurairah r.a: berkata: bersabda nabi saw: ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di bawah naungan allah, pada hati tiada naungan kecuali naungan Allah: Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda yang rajin ibadah kepada allah. Dan orang yang hatinya selalu gandrung kepada masjid. Dan
dua orang yang saling kasih sayang karena allah, baik waktu berkumpul atau berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina oleh wanita bangsawan nan cantik, maka menolak dengan kata: saya takut kepada allah. Dan orang yang sedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan orang berdzikir ingat pada allah sendirian hingga mencucurkan air matanya. (Bukhari dan Muslim)
Kedua, amanah pemimpin keluarga. Keluarga adalam fondasi kehidupan. Pemimpinan keluarga bertanggungjawab atas kesalehan isteri dan anaknya. Betapa keluarga yang broken home dan berdampak pada terjadi penyakit-penyakit sosial yang semakin hari semakin meraja lela. Itu adalah amanah orang tua yang terabaikan. Bukankah Allah sudah mengingatkan manusia untuk menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Mafhum muwafaqahnya adalah ajarkan mereka shalat, muamalah, berpakaian Islami agar mereka menjadi hambahamba Allah yang selamat.
Rasulullah saw bersabda: perintahkan anakmu melaksanakan shalat ketika berumur tujuh tahun dan pukullah dia ketika berumur sepuluh tahun (HR. Abu Daud dan Turmizi).
Ketiga, amanah pemimpin diri sendiri. Kepemimpinan diri sendiri bermakna bagaimana menata kehidupan individual yang bermanfaat bagi diri dan orang lain. Islam memerintah setiap pribadi untuk mendidik dirinya untuk dekat dengan Allah dan harmoni dengan masyarakat. Memimpin diri agar menjadi manusia yang bermanfaat dan berguna bagi orang lain adalah sebuah keniscayaan. Nilai manusia itu tergantung sejauh mana ia dapat memberikan kontribusi kepada sesama.
Sebaik – baik manusia adalah orang yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain. (HR. Ibn Hibban).
Filosofi amanah kepempimpian diuraikan sebagai berikut:
Pertama, kepempimpinan adalah beban berat untuk dipikul. Ketika Abubakar dimanahkan menjadi khalifah, kalimat yang keluar dari lisannya adalah inna lilah wa inna ilayh raji’un. Ini merupakan simbol musibah dan cobaan. Artinya kalau seseorang mampu menjalankan amanah ini dengan adil, maka ia akan mendapat perlindungan hari kiamat kelak di hadapan Allah swt sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasul saw. Sementara bila ia tidak dapat menjalankan kepercayaan ini, maka itu menjadi malapetaka yang amat dahsyat dipikulnya.
Karena itulah, Islam menghantarkan umatnya untuk berhati-hati dalam hal ini. Rasulullah saw bersabda:
Abu Said (abdurrahman) bin Samurah r.a. Berkata: rasulullah saw telah bersabda kepada saya : Ya Abdurrahman bin Samurah, jangan menuntut kedudukan, karena jika kau diserahi jabatan tanpa minta, kau akan dibantu oleh Allah untuk melaksanakannya, tetapi jika dapat jabatan itu karena permintaanmu, maka akan diserahkan ke atas bahumu atau kebijaksanaanmu sendiri. (HR. Bukhari Muslim).
Kedua, kepemimpinan itu dipertanggungjawabkan. Rasululullah saw bersabda:
Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya. (Bukhari dan Muslim).
Ketiga, kepemimpinan merupakan lambang keadilan. Keadilan itulah yang akan mendampingi setiap
pempimpin untuk memperoleh perlindungan dari Allah swt. Keadilan menjadi pilar kebahagiaan umat manusia yang terus dijunjung tinggi untuk kin dan selamanya.