Gema, 29 Januari 2018
Oleh Dr. Sri Suyanta
Wakil Dekan I Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry
Saudaraku, dalam rangka memelihara ukhuwah dan persaudaraan, maka titik temu dan persamaan harus dicari ditemukan dan dikukuhkan dalam kehidupan, baik dalam hidup berkeluarga maupun bermasyarakat. Adapun perbedaan yang memang sunnatullah dan sudah jelas adanya tentu tidak perlu dicari dan ditampak-tampakkan apalagi dibesar-besarkan.
Dalam sejarah kemanusiaan kita mengenal ikatan persaudaraan yang beragam, seperti ikatan kemanusiaan, ikatan keagamaan, ikatan kebangsaan, ikatan ideologi, ikatan kebahasaan, ikatan teritorial kewilayahan, ikatan kesukuan, ikatan marga, ikatan darah, ikatan keluarga dan seterusnya.
Coba perhatikan, pada semua ikatan tersebut, pasti berhimpun para pihak dengan ragam perbedaan yang melekat pada diri dan sesamanya. Namun ternyata perbedaan itu justru dikemas dipersatukan di bawah satu ikatan untuk meraih tujuan bersama.
Coba kita sebagai bangsa Indonesia tapi hanya menguasai bahasa ibu saja dan merasa paling hebat, niscaya kita hanya bisa eksis terbatas di keluarga kita saja dan canggung atau gagap berinteraksi dengan sesama bangsa yang punya ragam bahasa. Untungnya kita dipersatukan oleh Allah melalui kesamaan bahasa, bahasa Indonesia, atau bahasa dunia lainnya.
Mengapa hati kita merasa tenteram saat menunaikan ibadah haji di Makkah bersama berjuta-juta bangsa yang berlainan budaya bahasa-bangsa-warna kulit dan strata sosial?
Di antaranya kita telah dipersatukan oleh Allah dengan ikatan yang sama yakni Islam, sehingga tidak merasa sendiri dan terasing, di mana saja bertemu saudara.
Mengapa kita iba saat menyaksikan anak-anak (siapapun ia, dari manapun berasal, agama apapun) menjadi yatim atau sakit akibat bencana yang melanda? Di antaranya karena kita dianugerahi oleh Allah perasaan yang sama welas asih, kita sama-sama manusia ciptaanNya jua.

