Gema JUMAT, 6 November 2015
Setelah beberapa kali menulis tentang lingkungan baru di Beijing, baik melalui blog, citizen reporter dan catatan di status Facebook. Beberapa pembaca, ada yang saya kenal dan tidak. Mereka bertanya, “Bagaimana dengan makanan halal di Beijing? Apakah sudah yakin apa yang Ulfa makan semuanya halal, tidak mengandung babi?”
Pertanyaan-pertanyaan itu dikirim melalui email, aplikasi chatting dan ada pula yang bertanya langsung. Pertanyaan-pertanyaan seperti sangat wajar. Mengingat Tiongkok bukanlah negara yang bermayoritas muslim. Terlebih lagi dikenal dengan negara komunis. Meskipun komunis adalah sebuah ideologi. Komunisme pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi terhadap paham kapitalisme di awal abad ke-19, dalam suasana yang menganggap bahwa kaum buruh dan pekerja tani hanya bagian dari produksi dan lebih mementingkan kesejahteraan ekonomi.
Pada akhirnya paham ini kerap dikait-kaitkan pada penolakan ketidakinginan percaya pada Tuhan. Padahal di Tiongkok banyak pengikut agama Buddha, ada yang kristen dan ada yang pula yang muslim, meskipun banyak yang masih tidak mempercayai adanya Tuhan dan mereka mengikuti aliran Kongzi (Konfusius), seorang pemikir Tiongkok yang monumennya tersebar di setiap kampus. Penduduk muslim tersebar luas di provinsi Xinjiang dan Gansu, dua wilayah yang selalu dilirik ‘lebih’ oleh pemerintahan.
Kekhawatiran yang sama juga menghantui saya ketika pertama kali ke Beijing. Menurut informasi yang saya dapat sebelum berangkat, Tiongkok bagian utara adalah kawasan yang hampir tidak ada muslim dan makanan halal sulit dicari. Berbeda dengan kawasan selatan. Tapi saya yakin ummat muslim dimanamana, dengan penampilan saya yang berjilbab tidak mungkin tidak ada seorangpun hamba Allah yang menolong.
Sebelum berangkat ke Beijing, saya mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang kehidupan di Beijing. Saya catat dalam agenda mungil yang terus saya tenteng. Termasuk tulisan qingzhen (halal) dalam hanzi dan bagaimana memprononsasikan kata ini.
Salah satu informasi yang saya dapat dari blog seorang mahasiswa asal Malaysia cukup menarik. Kekhawatiran saya pun berkurang. Dia menulis bahwa Tiongkok merupakan salah satu negara yang pemerintahannya memberi kebijakan kepada kampus. Tiap kampus harus membangun dan menyediakan makanan halal untuk untuk pelajar di kampus yang menuntut ilmu di sana. Blogger asal Malaysia ini melanjutkan studi di Beijing Foreign Studies University. Ia menulis untuk memberikan informasi kepada calon-calon pelajar asal negeri jiran. Informasi ini juga bermanfaat bagi saya tentunya.
Meskipun informasi yang saya kumpulkan cukup banyak. Saya juga sempat kebingungan dengan deretan rumah makan yang tulisannya sama semua di mata saya. Karena ragu, dua hari pertama saya tidak makan nasi. Saya hanya makan buah. Semua makanan, seperti biskuit di super market seakan hilang label halalnya. Di hari ketiga baru saya menemukan rumah makan muslim di luar kampus. Agak jauh. Setiap hari saya bungkus dan makan di asrama. Satu porsi saya bagi dua, makan siang dan makan malam.
Sebulan kemudian baru saya menemukan kantin muslim di area kampus. Letaknya berdekatan dengan kantin umum yang besar dan terdiri dari dua lantai. Sementara kantin muslim letaknya hampir tak diketahui dan kecil sekali. Hanya tulisan syahadat di pintu masuk yang menjadi tanda.
Sampai di sana pun saya tidak menikmati kemudahan makan. Kartu kantin saya tidak bisa digunakan. Anehnya kartu saya bisa digunakan di kantin manapun, termasuk belanja di supermarket. Tapi tidak di kantin muslim. Untuk menggunakannya harus diaktifkan dulu di kantor kemahasiswaan dengan menyebut status agama.
Dengan keterbatasan bahasa dan perut kosong, saya hanya bisa terdiam. Seorang gadis Tiongkok dengan wajah kebule-bulean menghampiri saya. Ia menjelaskan sebab tidak bisa digunakan, dia juga menawarkan menggunakan kartunya. Dari paras dan bahasa yang ia gunakan, saya menebak dia adalah etnik Uyghur, provinsi Xinjiang. Karena gadis itu akhirnya saya makan nasi. Sayangnya sampai sekarang saya tidak pernah melihat dia lagi. Setelah kejadian itu, ternyata ada kantin muslim lainnya terletak di gerbang timur kampus. Makanannya tidak seenak di kantin kampus. Namun cukup membantu mengganjal perut. Cara saya memesan makananpun hanya dengan modal menunjuk gambar atau tulisan secara acak. Kadang-kadang makanan yang saya tebak enak, kadang tidak bisa diterima perut.
Setelah satu semester semuanya jauh lebih baik. Meskipun tidak sepenuhnya bisa membaca hanzi. Namun saya bisa mengenali dengan baik rumah makan muslim. Teman-teman non muslim terkadang bertanya meminta pembuktian, “Kenapa kamu tahu? Berikan bukti.”
Pertama, kenali warna. Islam identik dengan warna hijau. Umumnya rumah makan muslim di Beijing dan kawasan lain di China ditulis dengan warna hijau. Sejauh ini saya tidak menemukan warna lain. Meskipun banyak rumah makan umum yang berwarna hijau, tapi khusus untuk muslim ada tulisan (baca: qingzhen)yang artinya halal, dilengkapi dengan tulisan syahadat yang kurang rapi bahkan terkadang nyaris tidak terbaca.
Kedua, jika restoran besar umumnya didekorasi dengan gaya timur tengah. Mirip mesjid. Jika tiba di dalam suasananya juga berbeda. Ornamen Islami terpajang dimana-mana dan musik yang dinyalakan sebagai background kadangkadang lagu dengan bahasa uyghur atau irama timur tengah.
Ketiga, penampilan penjual berbeda. Mereka menutup seluruh kepala atau setengah kepala dengan cara khas. Hampir semua penjual berpenampilan seperti ini.
Kemana saja saya melangkah, mata saya selalu menangkap rumah makan muslim di Beijing. Saya pun tidak takut kelaparan lagi di negeri ini karena salah makan. Bahkan di sekitar kampus, saya menemukan sekitar delapan kantin muslim. Harganya bervariasi, makananya berbeda rasa. Di antara semua jenis makanan, lidah saya paling familiar dengan makanan Xinjiang. Tidak seperti chinese food pada umumnya.
Beijing cukup ramah kepada orang asing, kepada muslim. Khususnya bagi orag asing. Beberapa orang yang pertama kali ke Beijing menganggap Beijing begitu mengerikan, kolot dan terbelakang budaya. Mungkin juga karena culture shock.
Saya tidak merasa ditatap aneh di sini. Berbeda sekali ketika saya pergi ke luar dari kota Beijing. Penduduk lokal akan datang mendekat , menatap saya lama-lama. Ada yang diam-diam memotret, tapi suara kamera tidak dinonaktifkan. Cukup jelas untuk mengetahui ada ‘paparazzi’. Ada pula yang datang dengan sopan dan mengajak foto bersama. Mungkin di mata mereka orang asing dengan kerudung agak unik.
Di Beijing, semuanya normal.
Penulis adalah mahasiswi program magister jurusan International Journalism and Communication, School of Television, Arts and Journalism, Communication University of China, BeijingTiongkok.