Gema Jumat, 22 Januari 2016
Oleh : Murizal Hamzah
AwAl Januari lalu, kita menyimak pemberitaan yang tidak elok yakni Aceh merupakan daerah termiskin nomor dua di Sumatera dan nomor tujuh di Indonesia. Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) melansir data Badan Pusat Statistik RI yang mewartakan Laporan Sosial Ekonomi periode Januari-September 2015, yang menyajikan data angka kemiskinan di 34 provinsi seluruh Indonesia.
Disebutkan dari data Sosial Ekonomi BPS menunjukkan tingkat kemiskinan di Aceh hingga September 2015 tertinggi kedua di Pulau Sumatera, setelah Bengkulu (17,16 persen). Sedangkan di Indonesia, Aceh urutan ke tujuh provinsi termiskin dari 34 provinsi di bawah Nusa Tenggara Barat (16,54 persen). Tiga provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi pada September 2015 masing-masing Papua 28,40 persen, Papua Barat 25,73 persen, dan Nusa Tenggara Timur 22,58 persen. Data itu diperkuat lagi dengan data BPS Aceh, pada September 2015 jumlah penduduk miskin di Aceh yakni 859 ribu jiwa (17,11 persen) atau bertambah 8 ribu jiwa. Pada waktu bersamaan, Aceh menikmati triliunan rupiah aliran dana Otsus yang mengalir hingga 2022.
Pertanyaan menarik, mengapa angka kemiskinan terus melonjak di Serambi Mekkah? Secara garis besar, kaum dhuafa meningkat karena faktor internal dan eksternal. Secara internal, warga lebih banyak habiskan waktu berbicara di kedai kupi dan sebagainya. Mereka malas bekerja yang menguras keringat dan sebagainya. Hakikatnya, kerja selalu ada. Namun pemburu kerja itu memilih kerja yang ringan dan digaji jutaan per bulan.
Faktor eksternal, pemerintah gagal menyediakan infrastruktur yang memudahkan warga bekerja untuk menjemput rezeki. Istilah mencari rezeki kurang tepat digunakan. Sebab Allah SWT telah menempatkan rezeki kepada hamba-Nya. Hanya dibutuhkan kegigihan untuk terus berusaha dan berdoa untuk meraih rezeki.
Masalah sosial semakin mencuat ketika ketimpangan hidup antara pemimpin dengan masyarakat semakin jauh. Seperti lirik lagu, yang kaya makin makin kaya dan yang miskin makin miskin ini sangat berbahaya. Sebab dalam hal ini bisa terjadi kecemburuan sosial atau iri. Padahal dalam Islam, umat diminta untuk menjaga dalam radius 40 rumah depan belakang kiri kanan agar tidak ada tetangga yang kelaparan. Dalam hal ini sangat dibutuhkan pemimpin yang hidup hidup sederhana. Mereka yang tidak membangun tembok kemewahan dengan tetangga. Nabi Muhammad SAW yang dikenal kaya harta membuktikan hidupnya yang sederhana. Ketika melamar Khatijah, Rasulullah memberi mahar yang jika dinilai sekarang mencapai miliaran rupiah. Jadi keliru menyatakan sosok adalah pribadi yang miskin harta.
Contoh pemimpin lain yang hidup sederhana dari kalangan umat Islam yakni Ahmadinejad mantan Presiden Iran dan mantan Walikota Teheran Ibu kota Iran. Ketika diminta mengumumkan kekayaannya, presiden ini hanya memiliki rumah sederhana seluas 175 meter persegi dan mobil Peugeot putih keluaran 1977. Ketika menempati istana negara, dia meminta pembantunya menggulung karpet antik peninggalan Persia dan menggantinya dengan karpet biasa. Presiden ini juga menolak kursi VIP di pesawat Kepresidenan. Ahmadinejad berusaha menggambarkan dirinya tidak berjarak dengan rakyat kebanyakan.
Perilaku pemimpin yang hidup sederhana (sebab pemimpin baik itu bupati, gubernur, presiden digaji oleh rakyat melalui pajak dan sebagainya) menjadi inspirasi bagi masyarakat lain untuk hidup sederhana.
Tidak diragukan lagi, Aceh butuh pemimpin yang hidup sederhana dalam berbagai aspek kehidupan agar jarak dengan masyarakat semakin dekat. Lebih dari itu, dengan pola hidup sederhana, tidak mubazir, bershadaqah, memberi pendidikan kepada penduduk dan lain-lain mampu meningkatkan warga dari lingkaran dhuafa.