Gema JUMAT, 27 November 2015
Oleh: Murizal Hamzah
PeKAn lalu, Aceh dihebohkan den- gan publikasi pemotongan bak geulump- ang yang kelak dikenal pohon Kohler yang berada di gerbang utara Masjid Raya Baiturrrahman Banda Aceh. Berbagai komen hilir-mudik perihal pohon yang disembelih pada 19 November lalu. Tak pelak, pohon yang ditanam oleh Gubernur Daeraeh Istimewa Aceh Prof Ibrahim Hasan pada 14 Agustus 1988 mengundang reaksi warga. Sebut saja, Walikota Banda Aceh ??? mengaku terkejut dengan aksi penebangan. Kecaman lain dialamatkan kepada Pemerintah Aceh yang telah menghapus sejarah.
Bagaimana asal-usul bak geulumpang itu? Menelisik foto sejarah Masjid Raya, pada awalnya pohon itu berdiri ko- koh di depan masjid ketika berkubah satu atau di luar masjid. Di situlah Panglima Perang Belanda Major Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler tewas ditembak oleh sniper (penembak jitu) pasukan Aceh pada Senin, 14 April 1873. Kohler adalah jenderal Belanda yang pertama bersimbah darah dalam perang di Nusantara. Ada empat jenderal Belanda yang menjemput nyawa di Aceh dan hal ini tidak terjadi di daerah lain.
Setelah itu, kaphe Belanda membakar Masjid dan keraton Aceh (istana kerajaan Aceh) pada 6 Januari 1874. Belanda membakar Masjid Raya karena tempat pertahanan pejuang. Kemudian, Belanda membangun kembali masjid ini dan selesai pada 27 Desember 1883. Sekedar catatan, Masjid Raya pertama dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada 1612
Ketika Masjid Raya ditambah menjadi tiga kubah di sayap kanan dan sayap kiri masjid pada 1935, bak geulumpang digergaji dengan alasan untuk perlu- asan dan keindahan masjid. Perluasan ini dikerjakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum (B.O.W) menghabiskan biaya 35.000 gulden dengan pimpinan Proyek Ir .M.Thahir dan selesai dikerjakan pada akhir 1936. Inilah bak geulumpang yang asli tempat Kohler berlindung dari dar der dor pejuang Aceh pada 1873.
Minggu lalu, duplikat bak geulumpang tahun 1873 dan prasasti dibongkar dengan alasan yang sama yakni untuk perluasan masjid. Di halaman tersebut akan dipasang payung ele- ktrik seperti di Masjid Madinah. Jika dibutuhkan, payung itu dikembangkan untuk berteduh dari hujan atau sengatan matahari.
Pertanyaan selanjutnya, apakah pohon Kohler itu harus dihilangkan dari halaman masjid? Jika untuk keindahan masjid, alasan itu bisa diterima oleh masyarakat. Sebaliknya jika di tempat yang sama akan dipasang payung elektrik, tentu ini mengundang pertanyaan warga. Butuh waktu berpuluh tahun sebuah pohon tumbuh dengan baik. Tentu saja ada seribu dalil untuk membenarkan atau menyalahkan perihal dibabatnya bak geulumpang. Satu hal yang patut dicatat yakni setelah perluasan masjid dengan 12 payung elektrik itu selesai pada Mei 2017, catatan sejarah seperti prasasti itu layak dikembalikan ke posisi semula. Bagi orang Aceh, sejarah dan masjid menjadi ingatan kolektif bersama yang tidak bisa dipisahkan dari ruh rakyat.
Jika pun kelak, bak geulumpang tidak bisa ditanam di halaman masjid dengan berbagai alasan maka selembar prasasti tetap layak dipasang untuk mengingat jihad rakyat Aceh melawan kaphe-kaphe Belanda. Sedangkan bak geulumpang layak ditanam di taman kota atau hutan kota sebagai pelajaran kepada generasi muda. Akhirukalam, dalam merespons setiap peristiwa tetap dengan kaca- mata yang lebih luas agar sesama umat tidak terbesit riak-riak kegaduhan. Kita bisa belajar pada pohon Kohlerboom.