Gema JUMAT, 4 Desember 2015
Teungku Muhammad Daud Beureueh (Abu Beureueh) dan Teungku Muhammad Hasan di Tiro (Hasan Tiro) merupakan tokoh yang sangat berpengaruh dalam sejarah Aceh. Dua tokoh pembentuk gerakan perjuangan ini berani menentang Pemerintah Indonesia yang dianggap mengintimidasi Aceh. Abu Beureueh dengan DI/ TII Aceh dan Hasan Tiro dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Ketua Institut Peradaban Aceh (IPA) Haekal Afifa mengatakan Abu Beureueh dan Hasan Tiro merupakan tokoh dengan ideologi yang sama, yaitu Islam. Hanya saja, berbeda dengan Abu Daud, Hasan Tiro tidak membawa landasan Islam untuk menarik dukungan politik internasional ketika membentuk gerakan perjuangannya. Sedangkan Abu Beureueh membawa isu Islam, akibatnya DI/TII tidak mendapatkan tempat dalam dunia internasional. Kondisi ini cepat dibaca Hasan Tiro kala menjadi Duta DI/TII.
“Hasan Tiro berbicara nasionalisme sebagai cover, walaupun isi di dalam nasionalismenya adalah Islam,”kata Haekal yang juga penerjemah buku Atjeh Bak Mata Donja karya Hasan Tiro kepada Gema Baiturrahman, Selasa (1/12) kemarin.
Ia menambahkan, awal pemikiran Hasan Tiro adalah nasionalis Indonesia. Kemudian beralih ke pemikiran federalis atau islamis. Pada masa ini ia mulai menemukan gagasan yang dikemukakan Abu Beureueh. Kemudian berubah menjadi nasionalisme Melayu dengan menggagas konfederasi Negara Asia Tenggara untuk melawan ASEAn saat itu. Gagasan ini diperkecil lagi menjadi Sumatera Merdeka. Dipersempit lagi kepada pemikiran nasionalisme Aceh.
“Konsep inilah yang menjadi landasan pergerakannya. Doktrin nasionalisme Aceh ini ia tuangkan dalam buku karyanya berjudul Atjeh Bak Mata Donja yang terbit pada 1968,”katanya. Hasan Tiro berhasil membentuk karakter rakyat Aceh yang bangga pada sejarahnya.
Haekal menegaskan alasan Hasan Tiro membentuk gerakan perlawan bukan karena faktor ekonomi. Tetapi menyangkut faktor hukum, sejarah. “Tidak urusan di sini karena dia tidak mendapat proyek.
Konsep sejarah yang dibangun, Hasan Tiro membaginya ke dalam sejarah yang bisa diterima dan sejarah yang masih bisa diperdebatkan. Dalam setiap bukunya, Hasan Tiro selalu berbicara Aceh Darussalam dan Belanda. Sejarah Aceh dan Belanda memiliki bukti kuat yang tidak bisa dibantah untuk menarik dukungan politik perjuangan Hasan Tiro. Makanya, ia jarang berbicara mengenai Portugis, Pedir, Lamuri, Samudera Pasai, dan Lingga.
Tambah Haekal, landasan perjuangan Hasan Tiro yang lain terdapat pada perjuangan kelurga Tiro, atau yang disebut Haekal Tiroisme. Hasan Tiro dalam bukunya kerap memperbicangkan Tgk Chik di Tiro, Tgk Ma’ad di Tiro, Tgk Mahyuddin. Sebab, bagi Hasan Tiro, status Aceh pada masa perjuangan keluarga Tiro ini tidak jelas. Setelah perjuangan Tiro, tiba-tiba Aceh sudah masuk ke dalam wilayah Indonesia. “Hasan Tiro ingin mengatakan di masa itulah Aceh kehilangan kedaulatan. Makanya yang diangkat Tiro ini,”pungkasnya.
Secara karakter, Haekal menilai Abu Beureueh dan Hasan Tiro merupakam sosok yang berbuat sesuai perkataannya. Orang berkarakter seperti ini jarang ditemukan. Meski demikian, diskusi hangat tentang sosok Abu Beureueh mulai memudar walaupun masih ada yang mengkaji pemikirannya. “Saya pikir 10 atau 20 tahun ke depan, (sejarah) Hasan Tiro akan bernasib sama,”terangnya.
Penulis buku Biografi Hasan Tiro Murizal Hamzah mengatakan butuh waktu 100 tahun untuk menemukan tokoh yang memiliki karakter persis seperti Abu Beureueh dan Hasan Tiro. Menurutnya, dua tokoh ini berwatakan keras dan pintar, tidak mengedepankan tahta, dan kekayaan. Abu Beureueh tidak meninggalkan harta warisan kecuali masjid yang diberi nama Masjid Abu Beureueh.
Katanya, isu yang diangkat Hasan Tiro dalam gerakannya bahwa Aceh dijajah oleh Indonesia. Ia tidak membawa isu Islam, melainkan semangat nasionalis atau kedaerahan. “Karena kondisi dunia waktu itu tengah anti Islam,”tutur Murizal. Akan tetapi, landasan utama Hasan Tiro tetap Islam. Dalam pemikirannya, Hasan Tiro menganggap bahwa Pemerintahan Indonesia merupakan lanjutan Pemerintahan Belanda.
Kendatipun Abu Beureueh sempat berdebat dengan Hasan Tiro, kata Murizal, ia akhirnya mendukung Hasan Tiro membentuk sebuah pergerakan. Buktinya, Abu Beureueh menyuntikkan dana melalui Zakaria Saman untuk gerakan yang digagas Hasan Tiro. Dikatakan, dari dua tokoh ini, Abu Beureueh sebagai guru lebih berpengaruh dibandingkan Hasan Tiro.
Ia mengharapkan kelebihan dua tokoh ini menjadi pelajaran bagi generasi muda ke depan. Di sisi lain, sebagai manusia mereka memiliki kelemahan. “Banyak kisah-kisah mereka yang belum terungkap yang seharusnya menjadi pelajaran bagi kita semua,”pungkasnya. Zulfurqan