Gema JUMAT, 18 September 2015
Musim haji telah tiba. Bagi muslim yang sudah mendapatkan jatah, mereka sedang memenuhi panggilan mulia ke rumah Allah yaitu ke tanah suci Mekkah. Sedangkan yang belum mendapatkan kesempatan, juga dapat melakukan amalan-amalan lain yang pahalanya setara dengan pahala berhaji.
Salah satu hadits Nabi yang diriwayatkan Bukhari dalam kitabnya, bahwa ada sekelompok orang fakir miskin datang kepada Rasulullah SAW dan berkata, “Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong semua kedudukan yang tinggi serta kebahagiaan yang abadi dengan harta memreka. Mereka shalat dan berpuasa sebagaimana yang kami lakukan. Akan tetapi mereka mempunyai harta untuk menunaikan haji; umrah dan bersedekah.” Lalu Rasulullah SAW bersabda, “Sukakah kalian saya ajarkan sesuatu yang dapat mengejar orang-orang yang terdahulu dan orang-orang yang kemudian, dan tidak ada yang lebih utama dari kalian, kecuali mereka melakukan seperti yang kalian lakukan?” Mereka menjawab, “Baiklah ya Rasulullah.” Rasulullah SAW lalu bersabda, “Setiap selesai sholat bacalah olehmu Tasbih (Subhanallah); Tahmid (Alhamdulillah) dan Takbir (Allahu Akbar) masing-masing sebanyak 33 kali.” (Shahih; HR Bukhari).
Maka dari itu bagi kita yang belum diberikan rezeki yang lebih oleh Allah untuk menginjakkan kaki ke sana, jangan bersedih karena masih banyak amalan-amalan lain yang dapat dilakukan yang pahalanya setara.
Melihat tradisi orang Aceh tempo dulu, pergi haji merupakan ibadah yang sangat istimewa. Mengapa tidak, sebelum mereka berangkat, sudah dipersiapkan sedemikian rupa dan semapan mungkin. Mulai dari keluarga yang ditinggalkan, binatang ternak dan bahkan yang tak kalah paling penting yaitu kehalalan harta yang digunakan untuk berhaji. Itu sangat diperhatikan dengan baik.
Di saat orang tua dulu sudah berencana ingin berhaji, mereka mulai menabung. Uang yang ditabung betul-betul diperhatikan sumbernya. Misalnya, uang yang digunakan untuk haji dari hasil penjualan ternak mereka, sudah dipastikan ternak tersebut tidak pernah makan tanaman orang, tidak pernah masuk ke kebun-kebun orang lain yang tak diizinkan. Sampai sedetail itu mereka perhatikan.
Sehingga kebanyakan dari mereka berhaji waktu itu menjual tanah. Karena tanah sudah lebih menjamin bahwa tidak ada persengketaan, dan jelas tanah itu miliknya tidak ada sangkut paut dengan orang lain. Di sisi lain juga zaman dahulu rezeki lebih berkah. Dari hasil penjualan sirih saja mampu naik haji. Sehingga bagi mereka untuk berhaji merasa cuku sekali saja.
Namun kenyataan hari ini sangat berbeda dengan dahulu. Kini orang-orang banyak yang tidak memperdulikan lagi dari mana sumber dana untuk pembiayaan haji.
Seakan tidak terlalu penting mempertimbangkan uang itu darimana di dapat, dari hasil syubhat kah, atau dari hasil riba. Yang penting sudah mencukupi jumlah untuk mendaftar haji. Sehingga dampak yang timbul kemudian hari, sampai disana jamaah haji kebingungan, kecurian, lengah, tak sempat melakukan rukun haji dengan sempurna karena tergiur dengan berbelanja barang-barang disana. Alhasil haji mereka tidak mabrur. Wallahu A’lam Bishawab. (Hayatullah Pasee)