Gema JUMAT, 31 Juli 2015
Oleh : Prof Dr H Zainal Abidin Alawi MA, guru Besar Emeritus pada UIN Ar-Raniry
Dari ‘Ammar bin Yasir r.a, dia berkata: Rasulullah SAW Bersabda: “Sesungguhnya seseorang itu berpaling (karena telah selesai melaksanakan shalatnya memberi salam) tidak dicatat/dinilai bobot shalat (yang telah dilaksanakan) baginya, kecuali (hanya dinilai) sepersepuluhnya, dinilai sepersembilannya, dinilai seperdelapannya dinilai sepertujuhnya, dinilai seperenamnya, dinilai seperlima, dinilai seperempatnya, dinilai sepertiganya, dan dinilai seperduanya atau separuhnya.” (HR Abu Daud, Nasa-i dan Ibnu Hibban (lihat: Al-Mundziry: At-Targhib wa At-Tarhib, juz pertama, hadits ke 19, hlm 341, Bab: Tarhib, tentang tidak lengkapnya rukun-rukun shalat dan tidak khusyu’nya shalat ).
Shalat adalah ibadah utama. Shalat dinyatakan sebagai tiang agama. Tiang itu menjadi fondasi dan penopang agama. Setelah iman menjadi tonggak penyangganya, maka implementasi dari segala bentuk amalan lainnya berpunca pada shalat.
Shalat adalah batang tubuhnya agama, maka rukunrukun iman menjadi penopang utamanya, yang menjadi akarnya agama, rukun-rukun Islam menjadi cabangcabang, yang membuat batang itu menjadi rimbun, yang pada cabang tumbuh dahan dan ranting, tempat bersangkut ihsan. Sebuah batang yang bakal mendatangkan buah yang lebat, yang ini merupakan hasil akhir yang dituju oleh seorang pengabdi dalam kedudukannya sebagai hamba Allah.
Tinggi dan rendahnya bobot shalat sangat bergantung dari lengkapnya struktur shalat, berupa ruku yang diaplikasikan dalam pelaksanaan shalat dengan berbagai gerakan, sujud dan ruku’nya, dibaringi dengan bacaan yang sempurna, karena dengan tilawah yang berstandar dengan tajwid, makhrijul huruf dan shifatul hurufnya, sehingga bacaan itu dapat dipertanggung jawabkan.
Bobot shalat tidak semata-mata bergantung pada lengkapnya kaifiyah dan haiah dari rukun-rukun shalat secara menyeluruh, tetapi nilai, bobot dan mutu shalat di tentukan oleh beberapa tinggi kekhusyu’an, ketiadaan sifat riya, tidak lengah dan lalai dalam melaksanakan, terintegrasinya pelaksanaan shalat, ikhlas dan sucinya hati dan dikerjakan semata-mata karena Allah, hanya mengharapkan ridhaNya.
Penggabungan dari semua hal di atas yang bakal mendukung seseorang mendapatkan bobot yang tinggi dalam pelaksanaan shalatnya. Jika tidak demikian, maka tidak dapat diharapkan shalatnya memiliki bobot yang sempurna.
Kita dapat membayangkan rendahnya bobot yang diperoleh dapat dikategorikan masih rendah. Jika shalat sepersepuluh, itu berarti sepuluh point (dari seratus point); jika bobotnya sepersembilan, itu berarti mendapat 11,1 point, jika memperoleh seperdelapan, maka point yang didapat 12 point; jika bobotnya sepertujuh, maka nilai yang didapat 14,3 point; jika bobotnya yang didapat seperenam, maka nilai yang didapat 16,6 point; jika bobot yang didapat seperlima, maka nilai yang didapat 20 point; jika bobot yangb didapat seperempat, maka point yang didapat adalah 25 point; jika bobot yang didapat seperempat, maka point yang didapat 33,3 point dan jika bobot yang diperoleh setengah atau separuhnya, maka point cuma 50 point.
Jadi point yang mereka terima dari nilai shalat mereka, diantara 10 point sampai 50 point, jika dirata-ratakan secara menyeluruh, mereka memperoleh 32,55 point. Point sebanyak ini, masih dirasakan masih kecil, seyogianya harus diraih antara 80-100 point paling minim