Gema JUMAT, 01 April 2016
Oleh: Murizal Hamzah
Jika ada sebagian dari Anda ingin menjadi orang Arab dan mengamalkan budaya Arab, dan tidak mau mengikuti adat istiadat Melayu dan tradisi kita, itu terserah Anda. Saya juga akan senang jika Anda tinggal di Arab Saudi.”
Pernyataan keras ini dikutip dari Koran Straits Times edisi 24 Maret 2016. Hentakan sepenggal kalimat ini dilontarkan oleh bukan sembarangan tokoh. Adalah Sultan Johor Ibrahim bin Sultan Iskandar yang mendesak orang Melayu tidak berusaha menjadi seperti orang Arab dan membuang budaya Melayu yang unik.
Sultan Johor percaya ada orang Melayu bangga dengan budaya Melayu. Setidaknya, mereka jujur dan tidak munafik dan rakyat Johor tahu siapa raja Arab.
Sultan Ibrahim mengatakan berpegang pada adat dan tradisi sebagai orang Melayu karena dilahirkan sebagai orang Melayu. Dirinya terganggu bila beberapa orang mengajak orang Melayu berhenti mengamalkan ucapan salam tradisional. Misalnya, ucapan Hari Raya daripada Idul Fitri, atau buka puasa dengan iftar. Dirinya menggunakan istilah Melayu sejak anakanak dan berbicara dengan almarhum ayahnya sejak 50 tahun lalu. Dirinya tidak bermaksud menggantikan istilah-istilah dengan istilah Arab. Sultan Ibrahim kesal terhadap Departemen Pekerjaan Umum (JKR) Batu Pahat karena memasang pemberitahuan di jalan raya yang mengingatkan wanita Islam tentang dosa bila tidak menutup rambut. Menurutnya, ini salah karena bukan peran JKR.
“Sejak kapan JKR terlibat dalam hal ini?” gugatnya.
Sultan Johor menegaskan, tugas JKR bukan mengurusi agama. Tugas utama memastikan jalan dijaga dengan baik bukan khawatir dengan rambut wanita. Sultan Ibrahim menegaskan, salah bila menghukum warga yang dianggap melanggar ketimbang memberi nasihat terlebih dulu. Menurutnya, Allah akan menghukum Anda. Jika Anda ingin menasihati seseorang, panggillah dia dan berbisik kepadanya, jangan membuat dia malu depan umum.
Anda bisa senang atau menolak komentar Sultan Johor. Namun satu hal yang diingatkan olehnya yakni ada perbedaan antara budaya Arab dengan pengamalam Syariat Islam. Jika sekedar berbahasa Arab dianggap mengamalkan Syariat Islam, umat Kristen di Arab juga berbahasa Arab dalam khutbah di gereja. Budaya Arab melarang perempuan mengemudi mobil dan sebagainya.
Tentu ini bukan pengamalan Syariat Islam. Di Aceh, empat perempuan memimpin kerajaan Aceh, Cut Njak Dhien jadi panglima perang melawan kaphe Belanda dan sebagainya. Dalam hal ini, kita teringat ucapan ulama Gus Dur yakni Islam ke Nusantara bukan untuk mengganti budaya lokal dengan budaya Arab. Bukan berarti cucu ulama itu menolak budaya Arab. Gus Dur yang kuliah di Arab itu mengatakan, budaya Arab itu seperti budaya-budaya lain di dunia yang tidak identik dengan Islam. Artinya, tidak menjadi lebih Islami karena memakai sebutan antum, akhi, ahad dalam sehari-hari. di Aceh ada sebutan Teungku, gata, abati, Tu,. Waled dan sebagainya.
Inti ucapan Gus Dur atau Sultan Johor yakni jangan terjebak pada pengamalan simbol peci (peci di Indonesia jadi topi nasional yang juga digunakan oleh umat Kristen atau pejabat non Islam), serban, jilbab dan lain-lain. Kadangkala penampilan bisa menipu masyarakat. maka keluar ucapan, tidak mungkin dia menipu karena sudah berhaji atau memakai topi haji berjenggot dan sebagainya. Selebihnya, warga bisa mengetahui dari perbuatan.
Islam sebagai agama yang abadi sepanjang masa serta rahmatan lil alamin sangat menjaga hubungan baik sesama manusia (hablum minannas). Dalam muamalah, umat Islam menghargai kearifan lokal yang tidak melanggar syariat Islam.
Serta meluruskannya manakala bertentangan dengan syariat Islam. Dengan demikian kearifan lokal tetap harus tunduk kepada aturan Allah SWT. Pada dimensi lain, umat Islam di Nusantara tidak merasa asing atau bahkan membuang budaya sendiri yang sejalan dengan Syariat Islam.