Gema Jumat, 30 Oktober 2015
A. Rafar, SE, Pemilik Toko Buku Alif dan Taufiqiyah
Diakui atau tidak, keinginan masyarakat untuk membeli buku saat ini makin menurun. Kecenderungan mencari informasi melalui buku mesti mengeluarkan isi saku, dianggap terlalu mahal dan jauh dari praktis, apalagi masyarakat kini dibuai dengan mudahnya mengakses informasi begitu mudah, ekonomis dan cepat hanya dengan ujung jemari.
Melalui media online, misalnya saja seorang mahasiswa membuat makalah, maka hampir semua bahan dan informasi yang dibutuhkan tinggal ketik kata kunci, dalam sekejap telah terhidang.
Namun bukan berarti buku ditinggalkan begitu saja. Buktinya A. Rafar, SE, Pemilik Toko Buku Alif dan Taufiqiyah Buku Tak Pernah Ditinggalkan Pembaca setianya, toko buku (TB) masih eksis bahkan tetap bermunculan toko buku. “Sepinya pengunjung mulai terasa sejak tahun 2010,” kata A. Rafar, pemilik TB Alif, Banda Aceh.
“Dampak buku elektronik dan informasi melalui media sosial dan internet membuat omzet penjualan buku menurun,”tambahnya.
Lelaki kelahiran 1969 ini, juga sesama pedagang sejenisnya, sering terbantukan dengan adanya internet karena pihak penerbit sering mengiklankan buku keluaran terbaru kepada pembaca.
Rafar, panggilan akrabnya bukan pendatang baru dalam mengais rezeki dengan menjual “jendela dunia” ini. Banyak trik yang dipakainya dalam memanjakan pembeli. “Saya sering bekerja sama dengan panitia bazar buku,” sebut suami dari Hindun ini. Menurut pengamatan Gema, TB Alif sering menyemarakkan kegiatan-kegiatan bazar yang diselenggarakan Remaja Masjid Raya Baiturrahman, khususnya pada tiap bulan Ramadhan.
Untuk menggiring pembeli biasanya toko buku juga menjual alat tulis dan kantor (ATK), cinderamata dan alat peraga lainnya. Bisa jadi seseorang mengunjungi toko buku ingin membeli ATK, namun hatinya kepincut untuk membeli buku yang terlihat tanpa sengaja.
Masa panen bagi pebisnis buku adalah tahun ajaran baru. “Tahun ajaran baru, dari pagi hingga sore tidak pernah sepi pengunjung,” sebut Rafar yang juga pemilik TB Taufiqiyah ini.
Ayah dari Husni (18 th) dan Miftah Chairun (16 th) ini pernah mencoba melebarkan sayap bisnisnya dengan membuka kedai kopi. “Kopinya lumayan nikmat, tapi sepi pengunjung,” ungkapnya. Tak bertahan lama, kedai kopi yang berada di kawasan Lamnyong, Banda Aceh hanya bertahan sebentar.
Menurut Sarjana Ekonomi ini, usahanya memberikan pelajaran berharga baginya. Filosofi menjalankan usaha dengan bersungguh-sungguh, sabar dan berusaha dengan penuh kejujuran akan memperoleh apa yang diharapkan. (Na Riya Ison)