Gema JUMAT, 21 Agustus 2015
Oleh : Murizal Hamzah
Siapa yang tidak kenal Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981)? Siapa pun paham, karya tulis Buya Hamka hingga kini terus menjadi bacaan umat. Ada ratusan judul buku yang ditulis dari novel, tasauf, filsafah dan lain-lain termasuk ketika disel oleh Presiden Soekarno. Justru dalam penjara, Hamka menyelesaikan karya yang luar biasa yakni Tafsir Al-Azhar.
Memang benar, ulama atau teungku yang menulis buku-buku akan terus hidup pemikirannya melalui karyanya yang termaktub. Tidak perlu ada perdebatan yang dilakukan oleh murid-muridnya atau pengikutnya karena semua tercantum dalam lembaran-lembaran buku. Berbeda jika ulama yang tidak ada waktu menulis, maka ingatan kepada ulama tersebut tidak sepanjang ulama yang mewariskan tausiah melalui buku. Orang bijak menyebut, usia buku lebih lama daripada usia penulis buku.
Teungku Chik di Tiro udah wafat ratusan tahun lalu, namun karya Prang Sabil terus bergaung hingga detik ini dan selanjutnya.
Berkaitan dengan Hamka, kita patuh kagum cara Hamka berdakwah. Suatu ketika, Dalam pengajian rutin di Masjid Agung Al Azhar Jakarta, hadir seorang gadis memakai selendang dengan rok pendek. Dia selalu memilih paling depan. Wal hasil, aksi ini mengundang bisik-bisik sebagian jamaah lain yang merasa tidak nyaman dengan penampilannya. Jamaah yang terganggu menyampaikan hal itu kepada putra Buya yang menyampaikan lagi kepada ayahnya di rumah.
“Ayah, makin banyak jamaah yang protes ke saya tentang cara pakaian gadis itu. Kenapa ayah tidak tegur?” gugat anak Hamka.
“Kenapa harus ditegur? Dia sudah ikut mengaji sudah baik. Kalau belum apa-apa ditegur, nanti dia menghilang, bagaimana? Kita harus sabar,” jelas Hamka. Tak lama kemudian, perempuan itu menghadap Hamka.
Dia menyampaikan rasa terima kasih sekaligus kekaguman, karena tak pernah ditegur Buya (apalagi di depan umum) soal busananya. Siapa pun yang dipermalukan di depan keluarga, warga dan lainlain, maka yang bersangkutan akan menimbulkan rasa tidak nyaman.
“Sebelum ini saya selalu ditegur di pengajian lain,” ujar gadis itu meminta maaf telah merepotkan posisi Hamka di mata jamaah lain.
Pada pengajian berikutnya, gadis itu sudah berpakaian muslimah seperti jamaah lainnya. Tanpa disuruh Buya sama sekali. Tanpa ditegur. Dia melakukannya atas kesadaran.
Kisah ini saya tuangkan di sini setelah seorang warga menulis pengalaman yang tidak menyenangkan di Aceh. Sadar karena sahabatnya tidak berjilbab, maka dia dan rekannya berdiri di luar masjid untuk difoto.
Tiba-tiba ada teriakan sambil menghardik melarang masuk ke serambi masjid. Padahal bisa saja, petugas itu menawarkan jubah yang bisa digunakan oleh perempuan yang tidak berjilbab. Tidak perlu mengeluarkan energi negatif yang menjadi perhatian warga lain. Tidak perlu mempermalukan umat dengan menyemprot cat karena memakai celana ketat atau memperlihatkan wajah perempuan yang bajunya terlalu ketat.
Termasuk gunting rambu kepada perempuan yang tidak berjilbab dan sebagainya.
Mengingatkan adalah saling menasihati dalam kebenaran serta kesabaran. Bukan dengan mempermalukan mereka yang sudah berniat benar, tapi tersebab satu dan lain hal, belum bisa mengaplikasikannya secara menyeluruh.
Dalam hal ini, untuk mereka yang lagi masa pencarian identitas diri, maka sabda Rasulullah ini layak disebarluaskan. “Mudahkan dan jangan mempersulit, berikan kabar gembira dan jangan membuat manusia lari” (HR. Bukhari).