Gema JUMAT, 29 Januari 2016
Oleh : Murizal Hamzah
suatu ketika usai mengantar peneliti asing di sebuah dayah, teungku dayah berbicara tentang dayahnya yang butuh dana. Jika punya link ke gubernur, dia meminta saya menyerahkan proposal kepada gubernur. Saya kaget dengan permintaan tersebut. Mengajukan permohonan bantuan kepada pemerintah baik kepada gubernur atau Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah bukanlah sebuah kesalahan. Namun menjadi salah bahkan dosa jika isi proposal di manipulasi untuk meraih belanja. Jika tingkat teungku dayah – yang paham ilmu agama – sudah mau menipu untuk memperoleh uang, bagaimana dengan aktivitas dunia lain yang tidak bersinggungan dengan syariat Islam?
Sudah lazim diketahui, di Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah sangat banyak proposal yang diajukan oleh teungku-teungku. Pada dimensi lain, instansi itu pun mengadakan verifi kasi alias cek ke lapangan. Apa kriteria sebuah dayah? Apakah dari jumlah santri? Bentuk fi sik dayah dan sebagainya? hasilnya, dayah pun dibagi dalam beberapa klasifi kasi sehingga sebuah dayah layak disebut dayah atau masih pada tataran sebuah balai pengajian.
Perihal dayah melayangkan proposal ke pemerintah melalui Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah dari hari ke hari semakin meningkat. Ketika anggaran untuk dayah relatif minim daripada anggaran untuk pendidikan umum, maka kritik pun berhamburan. Dengan mengantung harapan hidup atau mati dayah pada dana operasional dari pemerintah bukanlah hal yang bagus. Dayah yang bisa mandiri tanpa bantuan pemerintah adalah sebuah kekuatan dari teungku-teungku dayah.
Tidak dibantah terhampar dayahdayah yang mandiri alias tanpa perlu mengemis ke pemerintah. Dayah yang mandiri dari aspek dana karena ditopang oleh dana dari pengurus dayah serta dana dari santri. Bersyukurlah dayah yang tidak habiskan waktu mengurus proposal di tangan instansi pemerintah. Kita percaya, masih ada pendiri atau pengurus dayah yang mengeluarkan duit sendiri untuk keberlangsungan wadah pendidikan umat. Mereka mendirikan dayah dengan tujuan bukan mencari uang pada pemerintah atau pihak lain. umat yang berprinsip, hidupilah dayah bukan cari hidup di dayah.
Fakta ini terungkap dari status Edi Fadhil di facebook – anak muda Aceh yang gemar membangun rumah untuk kaum dhuafa yang dananya bersumber dari jamaah facebook – yakni seorang pengasuh dayah di sekitar Panton Labu Aceh Utara mengasuh puluhan anak yatim tanpa sumbangan pemerintah. Lebih gigih lagi, pengasuh dayah itu menjual beberapa petak sawah miliknya untuk operasional dayah dan biaya makan anak-anak. Untuk hal ini, kita salut kepada pengasuh dayah dan perlu diantar bantuan kepada anak yatim piatu.
“Aku (Nabi Muhammad SAW dan pemeliharaan anak yatim, akan berada di syurga kelak,” kata Rasulullah sambil mengisyaratkan dan mensejajarkan kedua jari tengah dan telunjuknya. (H.R. Bukhari).
Mendirikan dayah yang kuat fi nasial untuk operasional antara lain dayah berusaha di bidang agribisnis seperti tambak, perkebunan, unit usaha atau dana abadi dan sebagainya akan lebih baik daripada dayah yang setiap tahun melampirkan proposal ke berbagai pihak. Kita harapkan hartawan yang dermawan untuk mengalirkan kekayaannya kepada dayah-dayah sehingga dayah memiliki fasilitas yang canggih serta santri yang cukup gizi untuk belajar. Abu Hurairah menerangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Apabila anak Adam (manusia) wafat, maka terputuslah semua (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga macam perbuatan, yaitu sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya” (HR. Muslim).