Gema JUMAT, 27 Mei 2016
Oleh Murizal Hamzah
Insya Allah, 6 Juni mendatang, umat Islam di seluruh dunia akan menunaikan ibadah puasa. Ibadah wajib ini rutin diamalkan setiap tahun. Ghalibnya, setiap jelang Ramadhan, sering muncul perdebatan tentang puasa yang selalu dikupas dari Ramadhan ke Ramadhan. Dalam hal ini, kita membicarakan hal-hal yang rutin diulas setiap puasa. Sebut saja, bahwa tuduhan yang melakukan Shalat Tarawih 8 rakaat tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan Sahabat.
Sebaliknya, yang Shalat Tarawih 8 rakaat menyakini hal itu pernah dilakukan oleh Rasulullah. Intinya, yang Shalat Tarawih 8 atau lebih 8 rakaat yang disalahkan. Sedangkan yang tidak Shalat Tarawih luput dari persoalan diajak untuk shalat. Kita bersemangat membicarakan perkara sunnah yang kadangkala melupakan hal yang wajib.
Kita semua paham, Islam sangat mengutamakan ibadah dilaksanakan dengan ikhlas. Kita mau shalat Tarawih 8 rakaat, namun tidak enak dengan atasan, shalat Tarawih pun dilakukan lebih dari 8 rakaat karena ikut pimpinan atau kelaziman masyarakat. Ada ganjalan dalam hati karena melaksanakan sesuatu bukan karena ikhlas kepada Allah SWT.
Boleh dikatakan niat dan ikhlas itu saling berkait yang menjadi syarat penting amalan diterima oleh Allah SWT. Allah SWT memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mengabdikan diri hanya kepada-Nya dengan penuh keikhlasan sebagai tanda tulusnya dalam diri seorang muslim. Masalah niat dan ikhlas hanya diketahui oleh diri sendiri dan Allah SWT. Kewajiban beramal dengan ikhlas disampaikan dalam Quran,”Padahal mereka tidak diperintahkan, melainkan untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus. Dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itu adalah agama yang benar. (QS al-Bayyinah: 5)
Wal hasil, pertanyaan, umat Islam mau Shalat Tarawih 8 rakaat atau lebih lebih bisa diawali dari kesadaran atau pemahaman berdasarkan ilmu yang dikuasainya. Dalam bahasa lain, umat yang sudah menunaikan shalat Tarawih baik berjamaah atau sendiri dengan ikhlas semata mengharapkan ridha Allah adalah sebuah kemajuan yang dahsyat. Kembali pada konsep Islam yang memperhatikan syarat ikhlas, maka hal ini mutlak diyakini. Melakukan sesuatu kebaikan karena semata ikhlas beramal bukan karena dipantau oleh CCTV atau dipuji.
Sekali lagi, niat keikhlasan beribadah karena Allah SWT adalah puncak amal yang sangat tinggi. Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya semua amal perbuatan dinilai mengikut niat dan setiap orang dinilai dengan niatnya. Sesiapa yang berhijrah kerana Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya dinilai mengikut niatnya menuju Allah dan Rasul-Nya. Sesiapa yang berhijrah untuk mendapatkan dunia dan wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya dinilai mengikut tujuan hijrahnya itu. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Akhirukalam, kita bukanlah hakim yang leluasa memberi vonis kepada pihak lain bersalah atau tidak. Segala sesuatu tersembunyi dalam hati yang bernama niat. Jika hal ini dipahami dengan benar, akan berkurang ucapan dari segelintir masyarakat yang saling mengkafirkan sesama umat Islam. Sebab hakikat ibadah seseorang itu hanya diketahui oleh diri sendiri
Daripada Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah SAW bersabda, ”Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh badan kamu dan tidak pula kepada rupa bentuk kamu. Akan tetapi Dia melihat kepada keikhlasan hati kamu.” (HR. Riwayat Muslim)
Semoga mulai Ramadhan ini 1437 hijriah, hal-hal perdebatan yang tidak perlu disuarakan bisa diredam dan berakhir. Jika kita terlalu asyik dengan hal-hal khilafiyah atau tidak esensial, maka pihak non Islam prok-prok jaroe menyaksikan umat Islam saling menghunus pedang. Energi lebih itu lebih baik diarahkan ke aktivitas yang lebih kongkrit seperti meningkatkan pendapatan warga melalui modal usaha atau aksi lainnya. Masih ada kerja-kerja umat yang belum selesai sehingga kita keluar dari Ramadhan layaknya bayi yang suci dari dosa.