Hasanuddin Yusuf Adan, (Dosen Siyasah pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Ar-Raniry) diadanna@yahoo.com
Syari’ah merupakan seperangkat hukum dan ketentuan yang diturunkan Allah untuk hambaNya agar dilaksanakan semestinya. Kemudian kami jadikan untukmu syari’ah dari urusan Kami, maka ikutilah dan laksanakanlah syari’ah tersebut dan jangan engkau mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui dan tidak mau tahu syari’ah (Q.45:18). Sementara warong kupi adalah satu atau beberapa kedai/toko yang di dalamnya dijual minuman kopi dan beberapa jenis minuman lainnya beserta sejumlah makanan oleh para pemilik atau penyewanya.
Sebahagian orang beranggapan tidak ada hubungan antara syari’ah dengan warong kupi maka mereka membuka dan menjaja minuman/makanan di dalamnya 24 jam sehari semalam tanpa mengira dan tidak menghiraukan perintah syari’ah. Atau ada yang lebih lembut lagi mereka hanya menutup kedai manakala perintah syari’ah tiba seperti datangnya waktu shalat lima waktu, namun mereka bersama pelanggannya tetap berada dalam kedai tidak menjalankan perintah syari’ah. Sementara sebahagian lainnya beranggapan bahwa warong kupi dihatur oleh syari’ah dan wajib ikut ketentuan syari’ah karena warong kupi merupakan bahagian daripada mu’amalah dan mu’amalah adalah bahagian daripada syari’ah serta syari’ah pula merupakan bahagian daripada Islam.
Akan halnya kondisi di Aceh hari ini yang sedang berlaku syari’ah, wabil khusus di kota Banda Aceh yang digadang-gadang sebagai Kota Gemilang (sebelumnya Kota Madani), siapa yang mengatur siapa, apa tugas gubernur dan walikota yang ditentukan qanun dan UUPA. Tentunmya qanun berbicara bahwa pelaksanaan syari’ah di Aceh adalah tanggung jawab gubernur, bupati dan walikota. Sebaliknya siapa pula yang berwenang mengatur warong kupi dan warong nasi, tentunya itu bahagian daripada tanggung jawab gubernur, bupati dan walikota juga.
Lalu timbul pertanyaan lain lagi, kenapa pula sepertinya Aceh tidak memiliki gubernur, bupati dan walikota dalam hal pengaturan warong kupi/warong nasi ketika waktu shalat tiba? Boleh jadi jawabannya karena mereka belum paham syari’ah dan hanya paham warong kupi dan warong nasi saja, boleh jadi juga mereka merebut jabatan tersebut bukan untuk menjalankan syari’ah melainkan untuk mengatur dan membagi-bagikan proyek dengan menghamburkan uang negara milik rayat, atau mereka punya sasaran untuk dianggap hebat oleh orang-orang.
Ketika kita menoleh kejudul artikel ini di atas; di Aceh, syari’ah yang mengatur warong kupi atau warong kupi yang mengatur syari’ah. Jawaban originalnya adalah: wajib syari’ah yang mengatur warong kupi sehingga di warong kupi tersebut tidak boleh ada judi, tidak boleh ada fitnah, peusuna dan caci maki, tidak boleh ada penghambur uang dan waktu yang bertentangan dengan syari’ah, tidak boleh ada orang di dalamnya ketika azan berkumandang lima waktu sehari (harus ke masjid untuk menunaikan shalat) dan yang paling penting lagi warong kupi wajib tutup serta pemilik dan pengunjung warong kupi wajib melaksanakan shalat di masjid terdekat.
Kalau demikian yang terjadi maka dipastikan di Aceh syari’ah yang mengatur warong kupi dan bukan warong kupi yang mengatur syari’ah. Namun demikian ketika yang terjadi sebaliknya; ketika azan berkumandang pada lima waktu shalat wajib di Aceh dan di Banda Aceh, lalu pemilik warong kupi menginstruksikan kepada para pengunjung untuk masuk dan berkumpul di dalam warong, dinding kedai ditarik dan pintunya ditutup separuhnya dan mereka semua tidak melaksanakan shalat sama sekali di sana, maka tatkala begitu yang terjadi di Aceh berarti warong kupi yang mengatur syari’ah seperti yang terjadi selama ini. Kalau demikian adanya maka di mana beda antara Aceh dengan Sumatera Utara, dengan DKI. Jakarta, di mana beda antara Banda Aceh sebagai kota Gemilang dengan Medan, Palembang, Surabaya sebagai kota majemuk. Tentunya sulit untuk dibedakan. Kalau di sana warong kupi yang mengatur syari’ah, orang-orang beranggapan sesuatu yang wajar karena tidak berlaku syari’ah walaupun syari’ah itu wajib bagi setiap muslim di sana. Namun kalau di Aceh yang berlaku syari’ah lalu warong kupi yang mengatur syari’ah, maka itu menjadi sesuatu yang sangat amat luar biasa yang tidak layak terjadi di atas dunia.
Aceh dihuni oleh mayoritas manusia syari’ah yang sekalian menjadi wilayah paling banyak warong kupi di dunia, maka ketika warong kupi mengatur syari’ah itu bermakna manusia mengatur Allah karena syari’ah milik Allah sementara warong kupi hasil kreasi manusia atas dasar ilmu yang diberikan Allah, maka malulah kita sebagai bangsa Islam di Aceh yang berani mengatur Allah yang menjadi sesuatu benda mustahil bagi orang-orang beriman. Lagei tahieh… Wallahu a’lam….