Gema JUMAT, 16 Oktober 2015
KeTuA Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Tgk. Muharuddin mengaku heran dengan sikap sekelompok LSM diluar Aceh, yang ingin melakukan judicial review terhadap Qanun Aceh N0.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Gugatan itu, menurut Muharuddin terlalu mencampuri hal-hal yang berkaitan dengan bentuk kewenangan dan kekhususan Aceh.
Tgk. Muharuddin meyebutkan, pemberlakuan Qanun Aceh No tahun 2014 tentang Hukum Jinayat dilakukan setelah adanya pembahasan panjang antara tim pemerintah Aceh dan DPR Aceh, SKPA terkait serta tenaga ahli.
Tgk. Muhar berharap jika ada elemen masyarakat yang keberatan dan akan melakukan jujidial review seharusnya berdiskusi dulu dengan pemerintah baik legislatif maupun eksekutif di Aceh.16
Sementara itu Ketua Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, Iskandar Usman Al-Farlaky, ikut menanggapi rencana segelintir Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Jakarta melakukan judicial review terhadap Qanun Aceh N0.6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
“Salah besar, jika ada yang mereka-reka bahwa Qanun Jinayat bertentangan dengan KUHAP. Semua sudah selesai dibahas dan didiskusikan dengan melibatkan banyak pakar hukum, termasuk sudah dikonsultasikan dengan pihak Jakarta. Tidak ada kontradiksi apapun sehingga qanun ini dinyatakan sah dan dapat diberlakukan,” ujar Iskandar Usman.
Iskandar menjelaskan, qa nun adalah peraturan perundang-undangan setingkat Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Aceh sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 21 UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Proses pembentukan qanun itu sendiri tetap tunduk pada ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
“Dalam konteks hukum jinayat yang diberlakukan di Aceh, maka harus dipahami bahwa hal ini merupakan kewenangan Aceh dalam menjalankan kehidupan bersyariat dimaksudkan sebagai jalan baru penataan peradabaan Aceh ke arah yang lebih baik sebagaimana diatur dalam pasal 241 ayat (4) UUPA. Maka saya perlu tegaskan kekhususan yang telah diberikan kewenengan untuk Aceh jangan coba- coba diusik. Ini adalah aturan yang dibenarkan dalam, konstitusi kekhususan melaksanakan syariat Islam,” tegas alumni Fakultas Syariah UIN ArRaniry Banda Aceh tersebut.
Pada saat pembahasan qanun itu, jelasnya, turut melibatkan berbagai stakeholder seperti kepolisian, kejaksaan, kementerian hukum dan ham, ulama dan bahkan tentara. “Jadi aneh kalau masih dituding bahwa qanun tersebut bertentangan dengan kerangka hukum nasional. Malah menurut saya, qanun nomor 6 tahun 2014 dan Qanun nomor 7 tahun 2013 tentang hukum acara jinayat merupakan salah satu pembaharuan yang memperkaya tatanan hukum di Indonesia,” katanya.
Ditempat terpisah Kepala Dinas Syariat Islam Provinsi Aceh Prof. Syahrizal Abbas mengajak semua pihak untuk bersama-sama mendalami isi qanun/peraturan daerah tentang jinayah dengan jernih.
Ia juga mengajak semua pihak untuk terus mengawal dan mengamankan amanah undang-undang dalam menjalankan Syariat Islam di Aceh dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Syahrizal Abbas menjelaskan, Qanun Jinayah yang telah diundangkan pada tanggal 23 Oktober 2014 dan pemberlakuannya setahun setelah diundangkan telah melengkapi beberapa qanun sebelumnya yang telah disahkan sejak 2002 dan 2003.
Sementara itu wakil ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh, Tgk Faisal Ali menyebutkan, gugatan yang dilakukan ICJR terkesan ingin mengganggu implementasi hukum syariat Islam (SI) di Aceh.
Menurut Tgk. Faisal, nilai-nilai yang terkandung dalam Qanun Hukum Jinayat itu sudah tepat, sehingga tidak patut jika digugat.
Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Aceh ini melanjutkan, masyarakat luar tidak berhak menggugat Qanun Aceh. Pasalnya, qanun ini akan dijalankan di Aceh, bukan di Jakarta.
“Jangan ganggu syariat Islam di Aceh, karena ini marwah rakyat Aceh. Apabila terjadi kekurangan nantinya, kita akan sempurnakan. Ini belum apa-apa mereka sudah takut duluan. Tidak perlu ditakuti, masih banyak qanun lain yang harus dipikirkan, tidak mesti Qanun Aceh tentang Jinayat yang harus dijudicial review,” tegas Tgk. Faisal. (Abi Qanita)