Khutbah Jum’at, Dr. H. Syamsul Rijal, M.Ag, Dosen Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry
Subtansi kehidupan itu adalah terikat dengan barometer keimanan seseorang. Keimanan itu
sendiri dalam dua atmosfir, yaitu muara sabar dan muara syukur. Kehidupan ini bernilai dalam arti yang sesungguhnya di saat mana seseorang itu mampu bersabar atas apa yang dihadapi sekaligus mampu bersyukur terhadap apa yang dimilikinya. Bersabar dan bersyukur itu sifatnya transformatif, dalam diskursus Kalam ia termasuk ke dalam teologi transformatif. Meneguhkan karakter pribadi yang bersabar dan bersyukur itu bukan wacana, bukan sebatas dipelajari, bukan sebatas dimengerti tetapi ia harus menjadi entitas nilai yang menjadi integratif di dalam karakter kepribadian. Pada posisi seperti ini sifatnya transformatif sehingga entitas nilai sabar dan syukur menjadi bagian dari barometer keimanan saat mana kehidupan akan terasa indah di dalam ridha-Nya.
Subtansi ibadah di dalam kehidupan ini, sama ada ibadah habl minallah dan ataupun ibadah habl minanas pahalanya itu sangat ditentukan oleh entias kesabaran dan untuk melipatgandakan entitas ibadah itu sendiri ditentukan oleh rasa syukur. Sabar sebagian dari pada iman. Sabar itu adalah satu simpanan dari beberapa simpanan surga. Keutamaan aktifitas ditentukan oleh bisikan jiwa yang membentuk asa kesabaran sampai kepada sesuatu yang tidak digemari juga di sana ada kebaikan. Entitas sabar yang melekat pada diri setiap orang akan melahirkan diri yang pemurah dan mereka yang sabar adalah dikasihi oleh Allah.
Menyadari betapa urgen arti sabar di dalam kehidupan ia dapat mengantarkan kedudukan dan derajat pemiliknya kepada yang terbaik. Di mana subtansi sabar itu? Sebenarnya, kita luput dari pemaknaan bahwa sabar itu adakalanya bersifat badaniah misalnya menanggung kesulitan dengan badan dan tetap teguh atas kesulitan. Kita mampu bersabar menahan diri dari beratnya pekerjaan dan ibadah kita sekaligus kita acapkali gagal meneguhkan diri sabar dalam jiwa yaitu sabar dari membatasi diri dari keinginan-keinginan tabiat dan tuntutan hawa nafsu. Entitas sabar kedua ini pada perinsipnya akan melahirkan sikap iffah (penjagaan diri. Pada posisi ini sangat diperlukan bagi pemeliharaan karakter diri agar tidak tergerus oleh entitas fatamorgana kehiduopan yang dapat menyeret pikiran serta prilaku manusia ke arah jalan yang jauh dari ridha-Nya.
Bencana kehidupan terjadi dimana mana, secara materia setiap orang menjadi tidak siap meskipun di dalam bencana subtansi jiwa kebanyakan manusia mengabaikannya. Di saat alam tidak bersahabat, terjadinya banjir, tanah longsor, terseret oleh gelombang air laut, kekeringan, kebakaran, kecelakaan di jalan raya, cita yang tidak terpenuhi dan sebagainya, bahwa keadaan ini akan melumpuhkan serta memciptakan asa kehidupan seseorang menjadi hampa. Hanya dengan kesabaran seseorang itu dapat memaknai entitas materia yang dihadapi itu disana akan ditemukan hikmah kehidupan itu sendiri. Penyelesaian solutif terhadap bencana yang ditimbulkan oleh alam acapkali memunculkan problematika sosial, di sana ada ujian kejujuran, ujian toleransi, ujian normattifitas kebersamaan dan rasa peduli antar sesama. Hanya manusia sabarlah yang hadir untuk menyelesaikan siutuasi bencana yang dapat memberikan kesejukan serta mendatangkan kedamaian. Lain halnya, di dalam nuansa subtansi njiwa bukan sesuatu yang materia teklah lkebih memperburuk entitas kemanusiaanj itu sendiri. Munculnya despritualisasi dan atau juga demoralisasi di dalam kehidupan tentu sangat memerlukan entitas sabar. Entitas sabar di sini bukan berarti berdiam diri, pasrah dengan keadaan tanpa kreasi jiwa. Jiwa suci, jiwa yang memperoleh hidayah ilahiyah yang akan lebih responsif untuk memperbaiki itu semua.
Problematika kehidupan yang dimunculkan oleh materia dalam bentuk bencana dan juga yang ditimbulkan oleh kegersangan jiwa sehingga kehidupan manusia dijejali oleh sikap demoralisasi ataupun despritualisasi akan dapat diatsi dengan menjadikan entitas sabar bagian integratif dari kehidupan. “mereka yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan, mereka itulah yang benar imannya dan mereka itulah orang orang yang bertaqwa” (QS 2:177).
Sementara itu, bersyukur di dalam konteks kehidupan ini bukanlah sebatas memberikan pujian kepada pemberi nikmat kehdiupan, tetapi menggunakan apa yang dimilki itu pada jalan yang diredhaiNya itulah entitas bersyukur. Dan membangun korelasi kreatif yang transformatif antara sabar dan syukur itu adalah seumpamakan “orang makan yang bersyukur adalah seperti kedudukan orang yang berpuasa yang sabar”. Sudah saatnya kita berbuat untuk entitas kehidupan ini dipenuhi dengan nilai kesabaran dan nilai syukur atas apa yang dimiliki itu semua sebagai anugerah-Nya. Sentuhan nilai-nilai religi keberislaman dalam bentuk teologi transformatif itu tetap diperlukan. Di mana setiap orang harus memaknai entitas subtansi (baca: sabar dan syukur) sebagai umpama agar ia menjadi bagian integratif dari kehidupan ini. Tanpa dua entitas itu akan menyebabkan manusia takabbur tanpa ikatan moralitas bahwa dunia materia ini adalah anugerah-Nya.
Demikian juga tanpa dua entitas itu akan melahirkanrkan kondisi sosial yang di isi oleh kehidupan rentan dengan demoralisasi dan depsritualisasi. Keadaan ini amat mengancam entitas nilai kehidupan itu sendiri. Dengan nilai normatif kesabaran dan bersykur kepadaNya sejatinya dapat merespon semua persoalan bencana kehidupan baik yang bersifat materia maupun yang bersifat non-materia. Indahnya transformasi nilai sabar dan syukur itu tentu saja sangat ditentukan oleh sikap pemaknaan dua etnitas itu oleh seseorang menjadi bagian dari karakter kehidupan mereka. Dua nilai besar inilah yang mampu membuat manusia bertahan dari pelbagai goncangan kehidupan, dimana posisi anda? . Wllahu a’lam bi al-shawwab.