Sri Suyanta Harsa:
Muhasabah 8 Ramadhan 1440
Menunda Kesenangan Sementara
Saudaraku, Allah berfirman yang artinya Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al-Hasyr 18)
Normativitas di atas, di antara berisi tuntunan dan tuntutan kepada setiap orang yang mengaku beriman agar dapat mempersiapkan diri secara cerdas untuk kehidupan di masa depan; yaitu hari-hari yang akan dilalui di dunia ini dan hari-hari yang akan dilalui di akhirat nanti. Dalam konteks inilah kita bisa belajar dari realitas yang ada.
Dalam realitas kehidupan, terdapat banyak sekali pengalaman orang-orang yang sukses dalam kehidupannya dikarenakan tata lakunya yang terkendali. Dalam kajian psikologi, agar sukses seseorang harus memiliki self control, sisyem pengendalian diri. Salah satu di antara prinsip dalam self control adalah kemampuan menunda kesenangan yang sifatnya
sementara untuk memperoleh kesenangan yang lebih besar dan abadi.
Lihatlah pengalaman praktis, ternyata banyak orang yang kini meraih kesuksesan, dari banyak di antara mereka yang berasal dari orang-orang biasa-biasa saja, namun luar biasa self controlnya. Mereka menahan diri dari tidur-tiduran, malas-malasan, menuruti selera makan, jalan-jalan ke sana kemari untuk rekreasi dan “semua kesenangan yang sifatnya sementara” lainnya, sebaliknya mereka belajar dan bekerja giat bahjan cenderung keras juga berat, cerdas dan ikhlas demi harapan memperoleh kesengan yang lebih besar dan abadi.
Oleh karenanya sedari kecil, kita dididik oleh kedua orangtua dan para guru mulia kita, dilarang bersikap bermalas-malasan, loyo tidak bersemangat, atau suka bermain-main berhura-hura, menghabiskan waktu terbaiknya di warung-warung atau cafe-cafe memenuhi perutnya dengan aneka makanan minuman dan musik hedonistik menuruti kesenangannya yang sesaat. Sejurus dengan menahan diri dari keterlenaan menikmati kesenangan sementara itu, kita juga dibiasakan (baca dipaksa) untuk disiplin belajar yang rajin, shalat dan mengaji setiap hari, membantu orangtua dalam bekerja keras memenuhi kebutuhan hidup hari-hari, menyayangi sesamanya dan menghormati orang yang lebih tua dan takdhim kepada ayah ibunda juga gurunya.
Oleh orangtua dan guru, semua kesenangan yang sifatnya sementara itu harus ditahan (baca dikendalikan) demi meraih sukses di masa yang akan datang dan merasakan kesenangan (baca kebahagiaan) yang besar dan lebih abadi.
Saudaraku, dalam konteks kewajiban berpuasa Ramadhan seperti yang kita tunaikan sekarang ini sejatinya adalah dapat mengukuhkan prinsip menunda kesenangan sementara untuk merasakan kesenangan yang lebih besar dan abadi.
Oleh karena itu puasa dipahami sebagai ibadah mahdhah yang dilakukan dengan mengendalikan atau menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkannya dari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
Coba bayangkan, saat berpuasa kita menunda kesenangan makan, menangguhkan kesenangan minum dan menahan diri dari menikmati kesenangan berhubungan suami isteri dan hal-hal yang membatalkannya lainnya dalam waktu tertentu dan diijinkan pada saatnya tiba yaitu saat adzan magrib menggema.
Dalam sebuah riwayat dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda
للصائم فرحتان، فرحة عند فطره، وفرحة عند لقاء ربه
“Bagi orang yang berpuasa merasakan dua kebahagiaan; kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu dengan Rabbnya.” (Muttafaq ‘Alaihi)
Saudaraku, mengapa saat berbuka di saat magrib tiba kita merasakan kesenangan atau kenikmatan atau kebahagiaan yang luar biasa? Kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata, tetapi kita rasakan hari ini, esok hari dan seterusnya kita ulang dan kita rasakan sampai benar-benar hari berbuka di Hari Raya Idul Fitri di saat kita kembali menemukan jati firi yang suci. Padahal kita berbuka dengan sangat bersahaja, hanya dengan segelas air putih, atau air teh manis yang telah disiapkan keluarga dan satu atau dua butir kurma.
Kebahagiaan yang kita rasakan di hati dikarenakan oleh kesuksesan kita dapat menahan diri dan menunda merasakan kesenangan makan, minum dan lainnya di siang hari dalam rangka memmenuhi kewajiban sehingga memperoleh keridhaan Allah ta’ala. Ini juga menunjukkan bahwa diri kita, makanan dan minuman berbuka di atas meja, dan kesempatan sejatinya bukan milik kita tetapi milik Allah ta’ala. Maka kita belum berani menyentuh dan mengonsumsinya kecuali atas seizinNya, yaitu saat berbuka di waktu magrib tiba.
Dengan demikian, dengan ibadah puasa sejatinya Allah mendidik kita, melatih kita agar dapat menggapai ridhaNya dengan menunda merasakan kesenangan sementara guna merasakan kesenangan yang lebih besar dan abadi ketika saatnya telah tiba atas titahNya jua.
Ketika kita berhasil mengendalikan diri dan menunda kesenangan sementara demi kesenangan yang lebih besar dan abadi dapat kita kukuhkan dalam kehidupan sehari-hari, maka kini saatnya kita mensyukurinya baik di hati, lisan maupun perbuatan nyata.
Pertama, mensyukuri di hati dengan meyakini bahwa puasa dan ibadah mahdhah lainnya merupakan instrumen untuk meraih kesenangan (kebahagiaan) baik di dunia maupun di akhirat.
Kedua, mensyukuri dengan lisan seraya melafalkan alhamdulillahi rabbil ‘alamin. Dengan memujiNya, semoga Allah menurunkan rasa bahagia kepada kita semua.
Ketiga, mensyukuri dengan langkah konkret, mengendalikan diri dan menunda merasakan kesenangan yang sifatnya sementara demi kesenangan yang lebih besar dan abadi.