Gema JUMAT, 16 Oktober 2015
MenjelAng ummat Islam merayakan tahun baru 1437 Hijiriah, ummat Islam khususnya di Aceh Singkil ‘disentakkan’ dengan sebuah peristiwa ‘tragedi sosial’ berupa pembakaran dan bentrok antarwarga di Desa Suka Makmur dengan Desa Dangguran, Gunung Meriah, Aceh Singkil. Dalam kerusuhan ini, satu unit gereja yang tidak berizin hagus terbakar dan berlanjut kepada korban jiwa.
Dalam menyelesaikan insiden ini tak urung beberapa pejabat pusat dan provinsi bergegas berkunjung ke sana. Peristiwa ini banyak diliput media cetak dan elektronik sehingga telah menjadi isu nasional. Bahkan, internasional.
Konflik yang berbau SARA, seperti ini, di Aceh Singkil, bukan kali pertama terjadi. Ia telah muncul berulang-ulang, bak drama klosal yang terus mengejar tayang. Pada tahun 1979, terjadi kejarkejaran dan pembunuhan antara warga Islam dengan Kristen di Kuta Kerangan, Simpang Kanan. Kemudian disusul riak-riak kecil tahun 1984. Lalu pada tahun 2001 dan terakhir tahun 2012.
Pemicu konflik
Terjadinya kerusuhan di Aceh Singkil ini, bukanlah dipicu persoalan intervensi atau tekanan umat Kristen supaya masuk Islam, bukan masalah keimanan, hukum syariat, akidah, marwah beragama, dan peribadatan atau tata cara beribadah lainnya. Melainkan, karena banyaknya pembangunan gereja liar dan tanpa izin. Pembangunan gereja ini menyalahi berbagai regulasi dan aturan yang ada termasuk mengangkangi komitmen yang telah pernah disepakati.
36 tahun yang lalu, tepatnya tahun 1979, pernah ada kesepakatan antara warga Aceh Singkil tentang pendirian rumah ibadah umat Kristiani. Dalam kesepakatan tertulis itu, hanya dibenarkan berdiri satu unit gereja dan empat unit undung-undung. Kemudian tahun 2001, perjanjian itu diperkokoh kembali.
Kemudian komitmen antarwarga ini seakan mendapat legitamasi, seiring dengan dikeluarkannya Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh tahun 2007 tentang pedoman pendirian rumah ibadah di Aceh. Plus ditambah dengan dikeluarkan UndangUndang No. 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Sehingga di Aceh (termasuk Aceh Singkil) berlaku prinsip hukum ‘lex spesialist dan lex generalist’.
Fakta membuktikan, jumlah rumah ibadah umat Kristiani, terus bertambah. Bahkan, telah melebihi dari yang disepakati. Rumah ibadah ini di Aceh Singkil, tumbuh ibarat jamur di musim hujan. Saat ini, ada empat unit gereja dan 23 unit undung-undung. Anehnya, pendirian rumah ibadah ini, tanpa ada izin dari pemerintah alias bangunannya illegal.
Jumlah rumah ibadah yang terus semakin banyak dan terkesan adanya “pengangkangan” terhadap kesepakatan dan regulasi yang ada, inilah memantik emosi warga. Akibatnya, beberapa warga Islam gerah dan berang.
Sudah berbilang kali warga muslim mengingat ke pihakpihak yang berkompeten. Malah dengan melancarkan unjuk rasa segala. Tetapi persoalan ini, dilihat dengan sebelah mata dan dijawab dengan dealdeal yang irama rentak tarinya meliuk-liuk liar.
Pascarapat antara Pemerintah kabupaten Aceh Singkil dengan beberapa ulama, Ormas, tokoh agama, perwakilan umat kristiani, dan elemen masyarakat lainnya serta Muspida plus disepakti untuk membongkar 10 unit undung-undung ilegal hingga berlangsung konflik.
Harapan Sekarang, nyatalah pada kita bahwa jalan pertikaian dan kekerasan bukan cara untuk menyelesaikan masalah. Tetapi justru awal terciptanya masalah baru yang lebih besar.
Karena itu diharapkan kepada pihak yang berkompeten segera memeroses persoalan inisecara hokum. Oknumoknum yang terlibat dengan kerusuhan ini, tindak sesuai dengan hukum yang berlaku berdasarkan prinsip dan nilainilai keadilan dan kemanusian.
Kemudian pemerintah dari pusat hingga daerah melakukan evaluasi dan upaya recoveri yang serius untuk menyelesaikan peristiwa yang terjadi. Karena ketidaktuntasan masalah ini, membuat insiden SARA di Aceh Singkil terus terjadi. Karena persoalan ini sangat rawan tersulut dan berdampak pada konflik agama yang lebih luas.
Penulis: Sadri ondang jaya, guru di Aceh Singkil