GEMA JUMAT, 1 FEBRUARI 2019
Dalam dunia politik ada motto yakni tidak ada lawan dan kawan yang abadi. Semua bisa berubah jika sudah memiliki kepentingan yang sama. Jika sudah ada kesepakatan, perbedaan agama, atau ideologi pun diabaikan. Padahal dulu mereka itu saling caci-maki, lempar fitnah dan segala aksi yang bertentangan dengan syariat Islam dilakukan. Sebaliknya jika sudah memiliki tujuan yang sama, semua dihalalkan dan perbedaan bisa dilupakan sejenak.
Nah berkaitan dengan Pilpres 2019, realitas di masyarakat, terjadi gesekan di rakyat jelata. Bahkan di beberapa daerah, perbedaan dukungan dalam memilih capres berakhir dengan tidak tegur sapa, bermusuhan, membongkar makam hingga saling membunuh sesama warga. sungguh hal ini tidak boleh terjadi di masyarakat. kita mesti menyadari bahwa pilpres itu rutinitas 5 tahun sekali. Sedangkan silaturrahmi atau persahabatan sepanjang masa. Tidak perlu mengeluarkan kata-kata teumeunak, ghibah apalagi fitnah dan lain-lain karena berbeda coblosan pada 17 April 2019.
Bagaimana warga memahami haba Pilpres 2019 dan merujuk pada ucapan tidak ada kawan dan lawan yang abadi. Dengan kata lain, pada suatu masa, mereka itu satu kubu dengan menutup rapat-rapat aib partanya atau capresnya. Lalu pada masa lain, mereka itu berbeda kubu serta membuka aib lawan capresnya yang telah diketahui ketika bersekutu dengan mereka. Dengan modal aib itu, mereka pun saling menyerang.
Pada suatu ketika, Haji Prabowo itu calon cawapres berpasangan dengan Hj. Megawati pada Pilpres 2009. Kemudian, Susilo Bambang Yudhyono – menteri era Kabinet Megawati – maju bersama Jusuf Kalla yang didukung penuh oleh Surya Paloh melawan Megawati. Kini Surya Paloh sudah satu perahu dengan Megawati.
Pilpres selanjutnya, giliran Jusuf Kalla capres dengan Wiranto melawan SBY-Boediono. Kemudian pada Pilpres 2019, 2019, giliran Prabowo berpasangan dengan Sandi melawan Jokowi-Ma’ruf. Sebelumnya, pada pilpres 2014, Prabowo berpasangan dengan Hatta Rajasa melawan Jokowi-JK. Padahal dulu Prabowo yang dukung Jokowi maju di pilkada Gubernur Jakarta melawan calon gubernur Jakarta Fauzi Bowo.
Demikian juga dengan partai politik. Sebut saja, PKI yang berjuang maksimal gilaan menjatuhkan Prabowo pada Pilpres 2009 dan Pilkada DKI 2012. Sekarang PKS sudah seranjang dengan Prabowo untuk mengalahkan capres Jokowi. Ya begitulah dunia politik di Indonesia. menariknya, Jokowi dan Prabowo bisa minum teh semeja dan saling berpelukan. Sebaliknya pendukung kedua capres – yang tidak mendapat apa-apa jika menang – terus melanjutkan amarah atau dendam dengan tidak melanjutkan silaturrahmi sesama muslim atau atas nama kemanusiaan.
Sebagai rakyat jelata kita harus bisa memahami bahwa politik adalah permainan yang kadang dibungkus dengan kemasan agama agar menarik pemilih. Satu kata, jangan gara-gara pilpres 2019, kita mengorbankan teman, saudara, tetangga dan lain-lain untuk urusan pilpres. Tidak perlu emosional. Terima saja teman yang berkampanye dengan ucapan “Anda benar.” tidak perlu berdebat dengan tim sukses pilpres. Mereka yang di atas tertawa terbahak-bahak melihat warga saling debat kusir.
Pilpres ini hanya 5 tahun sekali. Sedangkan persahabatan selamanya. Jika kita sakit atau butuh utang uang, percaya deh, para capres dan cawapres tidak akan membantu pemilihnya yang berkampanye untuk mereka. Tetap tetangga di sekitar rumah yang menolongnya dan rekan satu kerja. Jadi haba Pilpres 2019 harus dipahami sabagai paham demokrasi ala Amerika. Sejatinya dalam Islam tidak ada paham memilih umara berdasarkan suara terbanyak yang dijadikan pemimpin. [Murizal Hamzah]