Gema JUMAT, 24 Juli 2015
Kebiasaan orang Aceh, saat subuh lebaran tiba mereka bergegas untuk mandi sunat hari raya serta memakai pakaian baru, sebagai simbol kesucian (fitrah) dalam menyambut hari kemenangan. Demikian juga dalam sejarah Aceh, Sultan Aceh memberikan kain sarung kepada para pembesar dan Uleebalang kerajaan sebagai tanda ucapan selamat hari raya.
Bulan Ramadhan tinggal sebentar lagi dan hari Raya Idul Fitri (Uroe Raya) 1436 H akan segera tiba. Dalam adat Aceh, uroe raya menjadi media untuk bersilaturrahmi, saling memaafkan, saling mengunjungi dan berbagi sebagai ekspresi puncak kelulusan dari keberhasilan menjalani perintah ibadah puasa serta menunaikan kewajiban perintah zakat. Menarik untuk dikaji,bagaimana uroe raya dalam perspektif adat Aceh?
Dalam catatan sejarah Aceh, meugang, puasa dan uroe raya merupakan Adat Mahkamah (Hukum adat yang bersumber dari Kerajaan) yang pelaksanaannya diatur sedemikian rupadalam Qanun Meukuta Alam Al Asyi, tentunya sesuia dan selaras dengan nilai-nilai Islam.
Meugang dan Uroe Raya
Adat meugang ini sudah dilaksanakan sejak masa Kerajaan Aceh yang selalu diadakan saat memperingati hari-hari tertentu dalam Istana Darud Dunia dan dihadiri oleh Sultan, Wazir, Ulee Balang dan alim ulama. Menjelang meugang, Sultan memberikan titah kepada Syahbandar ImamBalai Baitul Faqir wal Miskin (semacam Baitul Mal) untuk membagikan daging, pakaian dan sembako lain
nya kepada dhuafa, fakir miskin, anak yatim, orang cacat dan janda. Semua pengeluaran dan biaya meugang tersebut ditanggung oleh Bendahara Orang Kaya Balai Silatur Rahim, yakni sebuah institusi yang mengatur tentang hubungan masyarakat dalam Kerajaan Aceh.
Bahkan, masa pemerintahan Kolonial Belanda di Aceh, hari meugang tetap dilaksanakan dengan meliburkan kegiatan dan membagikan daging kepada masyarakat. Tidak ada masalah dengan meugang tersebut, yang justru menjadi paranoid saat ada pihak yang menyerukan beberapa waktu lalu untuk menghapuskan tradisi meugang yang sudah berakar pada orang Aceh. Demikian juga dengan hari raya Idul Fitri yang penanggalan orang Aceh disebut dengan bulanUroe Raya, karena pada hari dan bulan tersebut dirayakan dan dibesarkan dengan menyuguhkan panganan dan kueh uroe raya semacam; timphan, bhoi, beulukat, karah, halwadan sebagainya serta dengan saling berkunjung dan berbagi. Peringatan dan perayaan ini merupakan momentum untuk menghapus segala dendam, saling bermaafan dan silaturrahmi serta bentuk dari taqarrub dan syukur kepada Allah SWT.
Untuk menentukan uroe raya, Sultan Aceh memanggil para alim ulama dan Qadhi Malikul Adil untuk melihat bulan (hilal) sebagai tindakan untuk menentukan uroe raya. Setelah itu saat subuh uroe raya, Sultan memerintahkan untuk membunyikan meriam sebanyak 21 kali sebagai tanda masuknya uroe raya. Sebagaimana disebutkan dalam naskah Adat Aceh dalam bab Adat Majelis Raja-Raja tentang pelaksanaan shalat Idul Fitri dalam kerajaan Aceh; “Maka hadharat Syah Alampun sembahyang tahiyyatul masjid dua rakaat salam, maka imampun membaca takbir demikian bunyinya; Allah hu akbar allah hu akbar allah hu akbar, laa ilaaha illalahu allah hu akbar, allah hu akbar walillahi l-hamd. Barang sedapatnya kemudian dari pada itu, maka naiklah bilal ke atas mimbar serta melambaikan segala jamaah yang di dalam mesjid itu dengan hormatnya maka bunyinya; Asshalatu jami’ah, rahimakumullah, tiga kali. Setelah itu, maka imampun tampil akan imam sembahyang hari raya itu dengan dua rakaat salam, maka rakaat yang pertama itu tujuh kali takbir dan pada rakaat yang kedua lima kali takbir maka demikian bunyi takbir itu; Subhanallah wal hamdulillah wa laa ilaaha illalahu wallahu akbar. Setelah selesailah ia dari pada sembahnyang maka bilalpun segera menatan tongkat khatib maka segeralah ia menyambut tongkat itu serta ia naik ke atas mimbar lalu ia membaca khutbah. Setelah sudah maka khatibpun turunlah ia ke bawah kemudian maka imampun membawa menjabat tangan dengan segala jamaah yang di dalam mesjid itu”.
Kebiasaan orang Aceh, saat subuh lebaran tiba mereka bergegas untuk mandi sunat hari raya serta memakai pakaian baru, sebagai simbol kesucian (fitrah) dalam menyambut hari kemenangan. Demikian juga dalam sejarah Aceh, Sultan Aceh memberikan kain sarung kepada para pembesar dan Uleebalang kerajaan sebagai tanda ucapan selamat hari raya.
Bagi pasangan pengantin baru, hari raya menjadi momentum pertama yang sangat berkesan karena dalam adat Aceh setiap menantu ‘diwajibkan’ untuk bersalaman atau mengunjungi orangtua atau kakak dari si istri/ suami, sehingga sang mertua harus melakukan teumeuteuk (salam tempel), banyaknya buah tangan tersebut diukur dengan harga daging yang dibawa pulang (saat meugang) oleh pengantin laki-laki, demikian juga pasangan pengantin baru harus mendapatkan kain persalinan di hari raya pertamanya (ija seunalen uroe raya) dari mertuanya. Dulu, biasanya ija seunalen tersebut ditenun secara khusus dengan berkasab embun. Disamping itu, bagi mereka yang jauh, uroe raya menjadi momentum untuk kembali ke kampung halaman guna mengunjungi sanak saudara dan keluarga dengan membawa pulang oleh-oleh se-alakadarnya, karena hal ini tidak ada aturan baku dalam adat Aceh untuk meuabehabeh(berlebih-lebihan) dalam berhari raya atau meugang.
Harapannya, dengan menyambut Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriyah, beragam dimensi konflik yang sedang berdenyut di Aceh mendapat tempat untuk saling bermaafan, menghapus segala dendam, rasa ku’eh (iri, dengki, khianat) antar sesama dan golongan sehingga sama-sama menuju kemenangan. Uroe Get Buleun Get, Timphan Mak Peuget Beu tateume Rasa. Semoga. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 H. Mohon Maaf Lahir dan Batin.
*Penulis adalah Aktivis Kebudayaan di Institut Peradaban Aceh (IPA)