Kata hijrah belakangan ini menjadi populer. Hijrah atau migrasi dalam arti fisik pernah menjadi unsur penting dalam keberislaman seseorang. Hijrah menandai awal dari kebangkitan Islam dalam berkontribusi bagi kemanusiaan.
Hijrah atau migrasi di zaman Rasulullah menjadi perintah wajib dari Kota Makkah, sebuah daerah “mati” yang sulit diharapkan bagi persemaian nilai-nilai Islam yang membawa rahmat semesta ke Kota Madinah, sebuah daerah harapan dan terbuka.


Lebih lengkapnya disampaikan oleh salah seorang penceramah tetap Masjid Raya Baiturrahman,, Dr H Mursalin Basyah, Lc, MA, terkait Hijrah sebagai perintah Al-Qur’an mengandung keutamaan luar biasa karena menuntut pengorbanan fisik, harta, dan mental sekaligus sebagaimana ibadah haji. Namun demikian, Rasulullah mengingatkan sahabatnya agar tidak mencederai hijrah sebagai ibadah mulia itu dengan niat atau kepentingan lain. Ketulusan niat ini diingatkan oleh Rasulullah.
Perihal ketulusan niat ini kemudian diulas oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam Al-Hikam berikut ini:
Artinya, “Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW, ‘Siapa saja yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Tetapi siapa yang berhijrah kepada dunia yang akan ditemuinya, atau kepada perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya.’ Pahamilah sabda Rasulullah SAW ini. Renungkan perihal ini bila kau termasuk orang yang memiliki daya paham.”
Syekh Ibnu Ajibah RA lebih jauh mengulas pandangan Syekh Ibnu Athaillah. Menurutnya, hijrah merupakan migrasi tingkat tinggi, yaitu migrasi spiritual atau migrasi kerohanian. Ia menyebut tiga jenis hijrah atau migrasi spiritual tersebut.
“Buat saya, hijrah itu migrasi dari satu ke lain daerah di mana seseorang meninggalkan tanah asalnya dan kemudian mendiami tanah tujuan. Hijrah atau migrasi ini terdiri atas tiga jenis, yaitu migrasi dari lapangan maksiat ke lapangan taat, dari lalai ke sadar, dan dari alam raga ke alam rohani. Atau dapat dikatakan migrasi dari alam malak ke alam malakut, dari lahiriah fisik ke makna, dan dari ilmul yakin ke ainul yakin atau haqqul yakin,” (Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 73-74).
Ia melanjutkan, menurut Syekh Ibnu Ajibah, orang yang berhijrah dari tiga tempat asal tersebut ke tiga tempat tujuan dengan maksud mengharapkan ridha Allah dan rasul-Nya atau dengan maksud makrifatullah dan rasul-Nya, maka aktivitas hijrah itu akan mengantarkannya pada Allah dan rasul-Nya sesuai maksud dan tekadnya. Adapun orang yang berhijrah menuju hawa nafsunya, maka maksud dan upayanya akan sia-sia. Akhir dari hijrahnya adalah hawa nafsu itu sendiri sebagai tempat berlabuh sehingga aktivitas hijrahnya itu menambah sebab celaka baginya.
Hijrah dalam pengertian hadits Rasulullah SAW yang dijelaskan oleh Syekh Ibnu Athaillah dan Syekh Ibnu Ajibah menekankan ketulusan niat, jauh dari sekadar perubahan lahiriah, yaitu cara berpakaian, cara berpenampilan, dan perilaku berlebihan yang serba formal dalam beragama yang pada giliran tertentu perilaku ekstrem seperti mengenakan pakaian yang dianggap islami, menggunakan bahasa yang dinilai islami, meninggalkan profesi yang dianggap tidak islami seperti karyawan bank, aktor, atau musisi, atau mengampanyekan ideologi negara yang dianggap islami.
Syekh Ibnu Ajibah–mengutip Syekh Yazidi–menawarkan cara untuk menguji ketulusan hijrah seseorang. Untuk menguji apakah hijrah seseorang berjalan di tempat, yaitu hawa nafsu duniawi atau benar-benar hijrah kepada Allah, ia menganjurkan seseorang untuk menghadapkan semua hawa nafsu duniawinya di depannya. Jika ia masih menginginkannya, maka niat hijrahnya masih problematis.
“Allah itu cemburuan. Ia tidak senang kalau Dia sebagai tujuan hijrah disusupi hawa nafsu dan kepentingan lain di luar diri-Nya. Orang yang masih menyisakan selain Allah di dalam hatinya tidak akan pernah sampai kepada-Nya,” (Syekh Ibnu Ajibah, Iqazhul Himam, [Beirut, Darul Fikr: tanpa tahun], juz I, halaman 74).
“Hijrah fisik dari Makkah ke Madinah tidak ada lagi sebagaimana sabda Rasulullah SAW karena pergeseran sistem nilai dan perubahan sosial di Kota Makkah yang tidak ada bedanya lagi dengan Kota Madinah. Tetapi hijrah dalam pengertian migrasi spiritual yang berbentuk penataan hati dan niat tetap diperintahkan dalam Islam” jelas ustadz Mursalin.
Nabi Muhammad SAW memiliki agenda besar ketika memilih Madinah sebagai pusat perkembangan awal Islam. Salah satu hikmahnya adalah Madinah (kala itu bernama Yastrib) karena tempat ini jauh dari pengaruh dua kekuatan politik terbesar saat itu; Romawi di Barat (Suriah) dan Persia di Timur (Iran). karena itu Islam berkembang dengan sangat baik nyaris tanpa gangguan dari luar Madinah kecuali kaum Quraisy Mekah dan Yahudi di Madinah. Setelah negara Madinah berhasil membangun beberapa sektor strategis negara seperti politik di dalam negeri, ekonomi, dan angkatan perang, baru kemudian negara Islam unjuk gigi ke dua negara adidaya saat itu; Romawi dan Persia.
Menurutnya, keberhasilan nabi dan para sahabatnya tidak terlepas daripada faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah usaha yang sungguh-sungguh dari setiap individu dan kelompok masyarakat Islam ketika itu baik kaum muda, orang tua, anak-anak, perempuan, dan setiap elemen masyarakat baik pedagang, kaum pribumi (ansar), pendatang (Muhajirin) secara bersama-sama memberikan kontribusi apapun untuk Islam. Faktor eksternal adalah konsistensi mereka membangun hubungan dengan Allah dalam kondisi apapun.


Salah seorang Imam Masjid Raya Baiturrahman, Dr. H Salman Al Hafidz, MA mengatakan melihat kondisi Islam saat ini yang jauh dari kata berjaya, maka dalam rangka meneladani peristiwa hijrah demi mencapai kembali kejayaan agama Islam, perlu kiranya ada pergerakan besar dari umat Islam yang tentunya dimulai dari masing-masing pribadi, karena hijrah adalah pergerakan. Pergerakan dari kondisi yang kurang baik, menuju pada kondisi yang lebih baik.
Ustadz Salman mengatakan pada titik awal, barangkali harus digiatkan kembali semangat belajar Islam pada generasi muslim sendiri. Ingatlah bahwa Islam tidak hanya pembelajaran selingan melainkan pembelajaran inti yang harus ditanamkan pada kehidupan keluarga dan masyarakat. Karena dari ilmu atau pengetahuanlah, akan timbul keimanan dan keyakinan. Keimanan yang kuat akan menumbuhkan komitmen kuat akan agama Islam.
Ketika komitmen kuat terwujud, maka pelaksanaan terhadap ajaran-ajaran Islam dalam segala aspek kehidupan akan menjadi mudah. Dan ketika itu dilakukan oleh umat Islam dalam jumlah besar di segala penjuru dunia, bukan tidak mungkin citra tentang agama Islam akan menjadi baik sebaik konsep yang ada di dalamnya. Dan saat itu juga, tercipta kondisi masyarakat yang dinamis dan harmonis sebagaimana masyarakat Nabi dulu di kota Madinah.
Kembali kepada Al-Qur’an dan Hadist menjadi solusi atas setiap permasalahan yang dihadapi umat saat ini dalam meraih kejayaan Islam Kembali.(liza)