Gema JUMAT, 16 Oktober 2015
Oleh: Murizal Hamzah
SeorAng anak lahap makan buah jambu di tangan kanan. Sementara di tangan kiri, masih ada satu jambu. Ibunya meminta satu jambu pada anaknya. Namun sang anak justru menggigit jambu yang tangan kiri. Sang ibu menghela napas. Ada rasa kecewa pada anaknya yang disebut pelit alias tidak mau berbagi. Ibu itu merasa gagal mendidik buah hatinya untuk berbagi sebagaimana sifat Rasulullah yang pemurah. Tidak lama kemudian, setelah menggigit jambu yang di tangan kiri, sang anak itu menyerahkan jambu itu kepada ibunya.
“Yang ini lebih manis daripada yang di tangan kanan,” ungkap anak itu.
Sejenak kita berpikir negatif terhadap anak yang tidak mau memberikan jambu kepada ibundanya. Faktanya bukan demikian. Sang anak ingin memberikan jambu yang terbaik kepada ibunya. Ya syukur, ibu itu menahan diri tidak berkata apa-apa hingga anaknya berbicara pelajaran penting yakni, jika ada masalah berkomunikasi yakni dengan menyapa yang kita persoalkan. Dengan berdialog, maka sebagian besar masalah sudah selesai.
Kita sepakat, menahan diri dari menyatakan sesuatu yang belum dipahami adalah tindakan tepat. Kita perlu hijrah pikiran dari buruk ke baik kepada sahabat atau pihak lain. Berkaitan dengan tahun baru hijriyah pada 1 Muharram 1437 Hijriyah (Rabu, 14 Oktober 2015), maka sudah semestinya kita melakukan hijrah pemikiran dari yang berkonotasi dugaan buruk kepada pihak lain kepada jugaan baik. Dalam hal ini, kita perlu puasa dari berkata-kata yang bisa menyebabkan orang lain dan kita sendiri terjerumus ke lembah kehancuran. Orang dulu menyatakan, luka pedang bisa sembuh namun luka karena kata-kata bisa diingat sepanjang masa.
Mengapa kita harus lebih mengutamakan mendengar, mendengar, dan mendengar lalu berbicara? Allah SWT telah menciptakan dua telinga dan satu mulut. Artinya perbanyak mendengar hal-hal yang baik. Setelah itu baru bicara dan bicara seperlunya apa yang diketahui. Dua telinga berarti mesti lebih banyak mendengar daripada berbicara. “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat Pengawas yang selalu hadir.” (Q.S. Qâf : 18). Ali bin Abi Thalib menyatakan ”Seseorang mati karena tersandung lidahnya. Dan seseorang tidak mati karena tersandung kakinya. Tersandung mulutnya akan menambah (pening) kepalanya. Sedang tersandung kakinya akan sembuh perlahan.”
Tahun baru hijriyah dimaknai dengan hijrahnya tindakantindakan yang lebih baik. Sebagaimana Rasulullah yang telah melakukan hijrah fisik dan non fisik, maka hal serupka juga mesti kita. Hijrah itu akan selalu ada sepanjang masa. Tidak salah hijrah itu identik dengan merantau yang sudah mendarah daging bagi rakyat Aceh. Merantaulah agar kita paham mengapa harus pulang. Merantau adalah berdakwah.
Sejak Rabu lalu, umat Islam yang menggunakan almanak hijriyah sudah menggantikan ke almanak baru. Kita sepakat, penurunan almanak lama ke baru tidak sekedar ganti almanak hijriyah. Lebih dari itu, dengan menggunakan semangat hijriyah yakni berjanji pada diri sendiri untuk berbuat yang lebih baik. Salah satu upaya memaknai tahun baru Islam yakni mengadakan muhasabah untuk diri sendiri.
Apa yang telah dan belum dilakukan tahun lalu dan tahun selanjutnya? Silakan kita buka rencana-rencana tahun 1436 H yang telah dilakukan dan belum ada realisasikan. Umat Islam itu mesti memiliki rencana-rencana yang dikerjakan pada 1437 H. Misalnya rencana berumrah, menunaikan Shalat Tahajud seminggu sekali, meningkatkan shadaqah dan sebagainya. Selain hijrah fisik, hijrah pikiran juga layak dilakukan karena itu akan mempengaruhi pola pikir umatnya.
“Aku seperti yang dipikirkan oleh hamba-Ku. Aku bersamanya ketika dia menyebut nama-Ku. Jika dia menyebut nama-Ku di dalam hatinya, Aku menyebut namanya di dalam hati-Ku; dan jika dia menyebut nama-Ku dengan berjamaah, Aku menyebut namanya dalam jamaah yang lebih besar. Dan jika dia mendekatiku sejangkauan tangan, Aku akan mendekatinya sejangkauan lengan; dan jika dia mendekati-Ku sejangkauan lengan, Aku akan mendekatinya sejangkauan galah. Dan jika dia mendekatiKu dengan berjalan, Aku akan mendekatinya dengan berlari, ” (HR. Bukhari dan Muslim)