Oleh: Sayed Muhammad Husen
Islam adalah aqidah, syariah dan akhlak, yang mencakup pengaturan hubungan internasional. Dalam hal ini, Islam dan ummat Islam yang berada di berbagai negara dan penjuru dunia, saling berinteraksi, menguatkan dan saling membela. Mereka ibarat satu tubuh, yang apabila sebagian merasa sakit, maka akan sakit pula bagian tubuh lainnya. Bila sebagian ummat Islam disakiti, maka ummat Islam lainnya di bagian lain bumi ini seharusnya merasa sakit juga.
Relasi ummat Islam tingkat global melahirkan dimensi baru Islam: hubungan baik muslimin internasional. Dalam konteks aqidah, hubungan dan relasi ini tak sering memunculkan masalah, kecuali sedikit “gesekan” akibat paham ketauhidan yang sedikit berbeda, misalnya antara sunni dan syiah. Sementara dalam bidang sosial dan politik, banyak masalah sosial politik muslimin bermunculan dan memerlukan solusi bersama.
Hubungan internasional muslimin memerlukan pengaturan, konsensus dan penguatan, sehingga mampu merumuskan berbagai masalah muslimin dan menemukan solusinya secara bersama-sama. Hubungan internasional Islam dapat terbangun dengan wadah yang efektif, yang mampu membela seluruh kepentingan sosial politik muslim di negara manapun mereka berada, termasuk bernegosiasi dengan organisasi internasional lainnnya.
Dalam kasus pembelaan terhadap muslimin Rohinghnya, kita melihat perlu mengefektifkan kembali relasi internasional dan mementingkan kepentingan Islam di atas kepentingan masing-masing negara Islam. OKI –sebagai satu organisasi negara-negara Islam yang paling kuat selama ini– harus mengoptimalkan fungsinya dalam memperbaiki hubungan internasional negara dan komunitas Islam di dunia ini, sehingga krisis Rohingya menjadi agenda bersama.
Bagi Aceh, yang sedang melaksanakan syariat Islam, kasus pengungsian Rohingya menjadi inspirasi untuk meningkatkan hubungan internasional dengan negaranegara Islam. Relasi ini bagian dari pelaksanaan syariat Islam kaffah untuk melengkapi agenda aqidah, ibadah, muamalah, jinayah dan lainnya yang sudah dilasanakan secara formal sejak 2002. Ini tentu bukan hal baru, sebab merupakan kelanjutan dari hubungan baik yang telah dirintis Aceh sejak tsunami 2004.
Karena itu, gagasan mengadakan konperensi internasional tentang Rohingya di Aceh adalah logis dilaksakan, sebagai bentuk penguatan hubungan Aceh dengan dunia Islam. Aceh (negara dan sipil) harus menunjukkan sikap proaktif dalam setiap krisis kemanusiaan, sosial, politik, dan ekonomi yang dihadapi negara dan komunitas Islam.