Oleh : Sayed Muhammad Husen
Satu perspektif dibangun Sekjen PBB, Ban Ki Moon: hukuman mati tak sesuai dengan abad 21, karena abad ini adalah abad kemanusian yang menghargai kehidupan. Abad yang menempatkan manusia di atas segalanya. Abad yang anti terhadap berbagai bentuk penghinaan terhadap martabat manusia. Manusia ditempatkan di atas segalanya, bahkan melebihi tuhan.
Kita tak mempersoalkan perspektif ini dianut oleh kaum sekuler (memisahkan Islam dan kehidupan), humanis (memuliakan manusia diatas segalanya), bahkan atheis (tak bertuhan), namun pandangan ini menjadi masalah bagi kaum beriman, bertauhid. Bagi kaum beriman, hukuman mati yang telah ditentukan oleh syariat seperti pada kasus qishash dan rajam, misalnya, tetap ada dan tak boleh dihapus.
Hukuman mati yang telah ditetapkan dalam syariat Islam, merupakan bagian dari sistem hukum yang wajib diimani, diamalkan bahkan diperjuangkan oleh setiap muslim atau negara muslim. Hanya saja, dapat dipahami jika hukum itu belum dapat diterapkan, karena kelemahan iman muslimin dan suatu negara muslim. Ia tetap wajib diimani dan dicita-citakan penerapannya.
Justru peluang diskusi bisa saja terjadi pada pidana hukuman mati yang dilaksanakan bukan berdasarkan teks Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Hukum ini diberlakukan berdasarkan keputusan ulil amri, pemimpin atau keputusan negara muslim dalam bentuk undang-undang atau qanun. Untuk ini bisa saja dilakukan pembaruan hukum, sejauh hukum itu berfungsi menyelamatkan kehidupan manusia yang lebih luas.
Dalam hal ini, ajaran Islam tetap dinamis dalam memanusiakan manusia dihadapan hukum, karena hukum dibangun demi kemaslahan, keadilan, perlindungan dan kenyaman manusia dalam beribadah dan mengelola kehidupan di dunia ini. Hukum menghapus kesewenangan dan melindungi jiwa manusia, pembunuhan dan perbudakan sesama manusia. Lebih khusus, penerapan hukum Islam adalah implementasi tauhid dan bagian dari ibadah kepada Allah SWT.
Karena itulah, kita mengkhawatirkan, perspektif yang dibangun tingkat global dapat memengaruhi kaum muda muslim yang lemah imannya, yang terbatas pengetahuannya tentang ajaran Islam, yang iman mereka ikut dilemahkan oleh sistem pendidikan sekuler. Karena itu, Aceh membutuhkan banyak edukasi, pengajian dan sosialisasi hukum jinayah (pidana Islam) sebagai upaya menyelamatkan iman anak-anak kita; sebuah generasi yang meyakini hukuman mati yang telah digariskan dalam AlQuran dan Sunnah.