Gema JUMAT, 11 Desember 2015
Khutbah Jum’at, Imam Shamsi Ali, Imam New York, Amerika Serikat dan Presiden Nusantara Foundation USA
Tidak dapat disangkal bahwa Islam saat ini adalah agama dengan laju perkembangan terpesat. Jika dipersentasikan, saat ini Islam adalah agama terbesar kedua di dunia setelah Kristen. Itupun jika Kristen tidak dipisahkan ke dalam dua kelompok Protestan dan Katolik. Jika dipisahkan maka Islam menjadi agama terbesar di dunia dengan jumlah pengikut sekitar 1.6 milyar manusia. Terlebih lagi ada sementara penelitian yang menyebutkan bahwa pada tahun 2050 mendatang Islam akan menjadi agama terbesar dunia, mengingat kepada perkembangannya yang pesat. Ada beberapa faktor utama kenapa Islam akan menjadi agama terbesar dunia. Dua di antaranya adalah karena memang tingginya tingkat konversi, khususnya di dunia Barat. Dan juga karena kecenderungan beranak pinak yang tinggi di keluarga-keluarga Muslim.
Di dunia Barat sendiri, khususnya di Amerika dan Eropa Barat, pertumbuhan Islam tidak terbendung lagi. Bahkan di saat-saat sentimen anti Islam atau Islamophobia meninggi, seperti saat ini di Eropa pasca serangan teroris Paris dan di Amerika dengan retorika politik kandidat presiden dari partai Republikan, khususnya Donald Trump.
Kenyataan di atas semakin meyakinkan bahwa Islam itu memang sejak awal dan secara alami memang dipersiapkan untuk menjadi agama global. Mau atau tidak, suka atau benci, sadar atau tidak, Islam akan merambah segala penjuru dunia dengan cahaya Ilahi untuk menyelamatkan dunia dari ketenggelaman moralitas dan peradabannya.
Itu pulalah sebabnya keseluruhan aspek ajaran Islam itu bernuansa global. Kita mulai dari konsep ketuhanan dalam Islam yang universal. Tidak dibatasi oleh batasan negara, etnik, suku dan ras. Tuhan dalam Islam adalah Tuhan semesta alam (Rabbul alamin), Tuhan umat manusia (Rabun naas). Berbeda misalnya ketika Tuhan digambarkan sebagai Tuhannya Bani Israil dalam perjanjian lama. Oleh karenanya Allah SWT itu adalah Tuhan yang memang senafas dengan alam global.
Al-quran itu adalah petunjuk yang universal. Diturunkan untuk seluruh umat manusia (hudan lin naas). Dan ajarannya tidak mengenal batas geografis (laa syraqiyah wa laa ghorbiyah). Al-quran dapat dibaca, dipahami dan diamalkan secara merata oleh umat Muhammad SAW. Bahkan kenyataan mengatakan jika juara-juara qiraat dan ulama-ulama Islam dunia banyak juga dari kalangan “ajam” (non Arab).
Rasulullah SAW itu adalah itusan Allah ke seluruh manusia (kaafatan lin naas). Sekaligus merupakan aktualisasi kasih sayang Allah ke seluruh alam semesta (rahmatan lil alamin).
Dengan demikian, tabiat agama Islam itu secara keseluruhan adalah memang agama global. Maka wajar saja jika umat Islam kemudian diwajibkan untuk terus menerus menyampaikan ajaran ini ke seluruh penjuru dunia. Sejal zaman Rasul SAW para sahabat bertebaran dan bahkan berkubur di berbagai belahan dunia, hingga ke China dan Eropa.
Karakter dunia global Akan tetapi akan lebih tepat jika saya membahas selintas tentang karakteristik dunia global.
Bahwa ajaran Islam itu adalah ajaran yang global (diin alami), sudah seharusnya ciri-ciri ajarannya pastilah sejalan dengan tabiat atau karakter dunia global di mana kita berada. Sehingga dengan sendirinya Islam tidak akan tergeserkan, terugikan dan tersudut hanya karena dunia yang semakin mengglobal (globalisasi).
Di antara karakteristik dunia global, antara lain sebagai berikut:
Pertama, kecepatan (speed) dan persaingan yang dahsyat. Kecepatan ini khususnya dikarenakan oleh kecepatan transportasi dan kecepatan informasi. Dengan kecepatan transportasi saat ini bukanlah sulit bagi manusia untuk menjelajahi dunia dari sudut ke sudut. Tentu sangat berbeda di saat dunia transportasi masih diminasi oleh kuda dan onta. Dengan pula dengan kecepatan informasi menjadikan sebuah peristiwa di desa terpencil terkadang lebih dahulu terekspos di negara lain ketimbang di negara tempat terjadinya itu sendiri.
Sebagai contoh, jika sebuah pembunuhan terjadi di sebuah kampung terpencil di Indonesia di malam hari, tidak mustahil kami di New York akan terlebih dahulu mengetahuinya ketimbang bangsa Indonesia di Jakarta. Hal itu dikarenakan orang-orang di Jakarta ketika itu sedang tertidur. Sementara kami di kota New York berad di waktu siang, dengan rentang waktu 12 jam. Maka ketika berita diupload oleh wartawan jam 11malam, di saat warga Jakarta pulas, kami baru memulai aktifitas kami jam 11 pagi. Maka kami yang akan pertama membaca berita itu melalui jaringan internet atau media sosal lainnya.
Dengan karakter dunia semakin cepat (speed) apakah Islam mampu menyesuaikan diri? Jawabannya jelas dan tegas pasti bisa. Islam dibangun diatas asas “as-sur’ah” (kecepatan) dan ketepatan (al-itqan).
Berbagai perintah yang ada dalam Al-quran semuanya bermuara kepada kecepatan. Ambillah sebagai misal: “Dan bergegaslah kepada kepada ampunan Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan bumi. Disiapkan bagi orang-orang yang bertakwa” (Al Imran).
Ayat lain menegaskan: “Maka berlomba-lombalah kamu kepada kebajikan” (fastabiqul khaerat).
Atau firman Allah: “Dan untuk itu (syurga) hendaklah mereka saling berlomba”.
Dan banyak lagi ayatayat Al-qur’an yang menegaskan jika umat ini harus berani mengambil bagian dalam kehidupan yang semakin cepat. Kecepatan ini tentunya mendorong terjadinya kompetisi yang sangat tinggi dalam semua lini kehidupan manusia. Sehingga wajar jika ayat-ayat yang saya kemukakan di atas, selain menggambarkan aspek kecepatan (as-sur’ah) juga menggaris bawahi urgensi perlombaan (istibaaq atau tanaafus). Dan keduanya mengandung maka yang sama. Untuk memenangkan perlombaan diperlukan kecepatan ektra.
Sejujurnya tuntutan kecepatan dalam upaya memenangkan persiangan global sekarang ini terjadi dalam segala lini kehidupan manusia. Terjadinya pergerakan gelombang reformasi di Timur Tengah seharusnya disadari oleh umat ini sebagai bagian dari proses memenangkan persaingan global secara cepat. Konflik yang terjadi atau diciptakan di berbagai belahan dunia Islam sejujurnya tidak terlepas dari geliat persaingan yang menuntut kejelian dan kecepatan umat dalam memgantisipasinya. Sayang peristiwa demi peristiwa yang terjadi di dunia Islam saat ini tidak diantisipasi secara jeli dan secara tangkas oleh umat. Akibatnya umat bagaikan semut-semua yang terinjakinjak oleh gajah-gajah dunia yang sedang berkelahi. Perhatikan secara dekat perebutan kekuasaan dan pengaruh global antara dua kutun kekuatan dunia di Suriah saat ini; Amerika dan Sekutunya di satu sisi dan Rusia dan sekutunya di sisi lain. Sementara pemimpin dunia Islam hanya bersembunyi di balik gajah-gajah itu mencari perlindungan agar tahta kekuasaanya tidak terganggu.
Kedua: dunia semakin mengecil dan interkoneksi ketat.
Dengan kecepatan transportasi dan informasi itu dunia kemudian menjadi semakin sempit (kecil). Amerika dan Indonesia seolah hanya negara tetangga yang bisa dikunjungi kapan saja dan dalam waktu yang singkat. Apalagi informasi yang da menjadi lintas batas negara setiap saat.
Dalam bahasa lainnya sesungguhnya semua manusia saat ini sedang hidup dalam sebuah kampung kecil (small village). Dan itu juga berakibat kepada tiada lagi rahasia di antara kita. Opresi dan refresi kepada sesama di mana saja akan dengan mudah terekspos kepada orang lain bahkan di tempat yang selama ini dianggap sangat jauh.
Initinya tradisi tetanngga yang dikenal dalam Islam sebagai 40 rumah sebelah kanan dan kiri menjadi tidak relevan lagi. Karena sesungguhnya semua manusia telah hidup bertetangga, bahkan hidup di bawah atap yang sama dalam setiap masa.
Mengecilnya dunia ini kemudian memaksa manusia, mau atau tidak, sadar atau tidak, berada dalam suasan kehidupan yang saling menggantung dan terkait. Permasalahan dunia Barat, langsung atau tidak, juga menjadi permasalahan dunia Timur.
Ambillah satu contoh konkrit saat ini. Sejak terjadinya serangan 11 September di Amerika Serikat, isu terorisme tidak saja menjadi permasalahan Ame rika. Tapi terorisme telah menjadi permasalahan dunia global. Oleh karenanya perang kepada terorisme dikenal dengan “global war on terrorism” (perang global kepada terorisme).
Pertanyaannya kemudian apakah Islam sejalan dengan dunia yang berkarakter demikian? Jawabannya tegas iya. Bahkan Islam mengajarkan manusia untuk mempersempit batas-batas kehidupan manusia, seraya mengakui eksistensinya. Islam itu tidak agama orang di timur (syarqiyah) dan tidak juga agama orang barat (gharbiyah).
Intinya adalah karena Islam memandang dunia sebagai rumah bersama dengan mengakui secara tegas adanya keragama penghuni, maka Islam menempatkan diri pada posisi untuk membangun kerjasama (ta’awun) dengan siapa saja dalam hal-hal kebajikan dan kemaslahatan bersama. Sebagaimana Allah memerintahkan: “dan salinglah kamu kerjasama dalam kebajikan dan ketakwaan. Dan janganlah saling kerjasama dalam doa permusuhan”.