GEMA JUMAT, 14 JUNI 2019
Mutah Beale:
“Aku memiliki segalah hal, ketenaran, uang, wanita, rumah mewah, dan semua yang diinginkan dalam hidup. Tapi ,aku masih saja tidak senang. Aku tak dapat menemukan kedamaian jiwa,” ujar Mutah Beale Wassin Shabazz, seorang anggota grup hip hop Outlaw binaan rapper ternama Amerika, Tupac Shakur. Ketenaran dan kekayaan tak membuat rapper dengan nama panggung Napoleon itu bahagia. Islamlah yang kemudian menjadi kunci kebahagiannya.
Mutah sebenarnya lahir di tengah keluarga Muslim. Sang ayah merupakan Amerika-Afrika Muslim bernama Salek Beale. Ibunya, Aquilleh Beale, merupakan Muslimah asal Poerto Rico. Namun, keduanya meninggal saat Mutah baru berusia tiga tahun. Nahas, Mutah dan seorang adiknya menyaksikan kematian orang tua mereka yang ditembak mati kelompok garis keras, Nation of Islam. Mutah pun seketika menjadi yatim piatu yang kemudian dibesarkan oleh sang nenek dalam lingkungan Nasrani.
Bersama keluarga besar, Mutah hidup dalam kemiskinan. Tak adanya pendidikan yang memadai membuat Mutah menjadi pemuda liar. Ia bahkan pernah mengisap narkoba dan sempat ditangkap aparat. Hingga kemudian Mutah ingin mengubah nasibnya karena merasa iba dengan sang nenek yang mengurus banyak cucu sehingga harus membanting tulang.
Ia pun mengejar kariernya menjadi penyanyi rap. Bermula menjadi rapper jalanan selama bertahun-tahun, Mutah kemudian dipertemukan dengan Tupac Shakur. “Tupac mengajakku untuk bergabung dengan grup Outlawz dan dari grup itulah aku langsung menjadi seleb,” ujarnya, dikutip majalah Weekend Trust.
Hidup glamor di dunia hiburan pun menjadi rutinitas Mutah. Inilah cita-citanya sejak merintis karier dari jalanan. Ia pun tak lagi diliputi kemiskinan dan dapat memberikan hidup layak bagi sang nenek. Namun, apa yang terjadi, Mutah justru tak merasa bahagia. “Apakah ini adalah tujuan akhir hidupku?” pertanyaan yang selalu menjadi beban benak pria kelahiran New Jersey tersebut.
Hingga suatu hari, sang nenek yang mengurusnya dari kecil meninggal dunia. Mutah diliputi kesedihan yang sangat. Tak lama kemudian, Tupac yang menaungi grup rapnya pun meninggal dunia dengan targis. Makin berlipat gandalah kesedihan Mutah. “Aku bertanya-tanya, mengapa segala sesuatu pergi satu per satu? Mengapa semua orang yang memberiku harapan pergi satu per satu? Aku bertanya kepada diri sendiri, apakah ini benar-benar kehidupan? Apakah semua kekerasan dan sakit yang kurasa selalu ada dalam hidup?” ujar Mutah mengenang masa lalunya saat dilanda kegalauan hidup yang sangat.
Setelah berbagai peristiwa pilu, hidup Mutah tak karuan. Ia sering pergi ke berbagai klub malam. Semangat hidupnya pun hilang.
Suatu hari ia pernah memukuli adiknya hingga nyaris tewas. Waktu itu Mutah dalam kondisi mabuk berat. Saat itulah ada seorang Muslim berada di lokasi. “Suatu hari aku terlibat perkelahian dengan adikku. Aku terus memukul kepalanya hingga darah tak berhenti mengucur. Lalu, kami ditarik terpisah dan salah seorang bertanya, bagaimana jika saat aku sadar esok hari, aku mendapati adikku terbunuh dengan tanganku sendiri. Sontak aku pun sadar dan sedih. Orang itulah yang kemudian mengenalkanku pada Islam,” kata Mutah berkisah.
Itulah awal Mutah mengenal Islam. Ia pun kemudian mempelajari Islam dengan rasa penasaran yang sangat. “Aku tak tahu apa-apa tentang agama. Tapi, aku penasaran dan mencari tahu tentang Islam. Menariknya, saat mempelajarinya, aku menyadari bahwa Islam adalah cara hidup yang aku inginkan selama ini,” ujar Mutah menceritakan manisnya hidayah yang ia dapat.
Mutah pun kemudian bersyahadat. Tak tanggung-tanggung, ia ingin menjdi Muslim sejati, seorang Muslim yang kafah. Tak hanya perkara wajib yang ia taati. Sunah Rasulullah pun ia jalani. Mutah begitu semangat berislam. Sejak mengenal Islam, ia mendapati ketenangan hidup yang selama ini ia inginkan. (Oase Republika)