Gema Jumat, 23 Oktober 2015
Oleh: T. Lembong Misbah, MA, Tokoh Masyarakat Aceh Singkil di Banda Aceh
Sekitar 36 tahun lalu, tepatnya pada tahun 1979, pernah ada kesepakatan antara warga Aceh Singkil tentang pendirian rumah ibadah umat Kristiani. Dalam kesepakatan itu, gereja dibenarkan berdiri hanya satu unit. Sedangkan undung-undung (sejenis gereja kecil) empat unit. Lalu 22 tahun kemudian atau tepatnya pada tahun 2001 kemarin, perjanjian itu diperkokoh kembali. Simak wawancara wartawan gema baiturrahman, indra Kariadi dengan T. lembong Misbah, MA, seorang tokoh masyarakat Aceh Singkil di banda Aceh.
Bagaimana tanggapan Anda tentang kejadian Aceh Singkil?
Persoalan konflik di Aceh Singkil patut disayangkan sampai jatuhnya korban jiwa. Persoalan semacam ini harus diselesaikan dengan bijak, arif dan adil. Pandangan saya adalah sejatinya hal seperti itu tidak mungkin terjadi di Aceh Singkil, tapi bisa diselesaikan dengan cara-cara yang elengan.
Bagaimana sejarah perjanjian tahun 1979?
Persoalan perjanjian itu lahir adalah persoalan gereja. Tapi, saya mengira itu tidak tunggal konflik yang terjadi karena persoalan gereja. Ada persoalan sosial ataupun persoalan lain yang melatar belakangi faktor terjadi konflik tersebut.
Sebenarnya kalau kita melihat dan mengaca pada konflik tentang kerukunan umat beragama, di Indonesia malahan di dunia, tidak tunggal. Tapi, seringkali bersangkutan dengan persoalan lain. Nah, terkait dengan persoalan tahun 1979 memang saat itu terjadi pembakaran gereja, tapi dalam hal ini pemerintah saat itu memang kelihatan agak cepat dalam menyelesaikan kasus tersebut, sampai kemudian terjadi kesepakatan, yang di hadiri perwakilan ulama dan perwakilan dari Kristen saat itu.
Lalu?
Perjanjian tahun 1979 itu dianggap oleh orang Aceh Singkil adalah perjanjian yang mengikat dan tidak boleh ada yang melanggar dari ketentuan itu. Karenanya, persoalan ini juga ada kaitannya dengan perjanjian tahun 1979. Tampaknya ada satu pihak, kira-kira kurang konsisten dalam perjanjian tahun 1979. Dalam kesepakatan itu, gereja dibenarkan berdiri hanya satu unit. Sedangkan undung-undung (sejenis gereja kecil) empat unit.
Kalau saya melihat, terjadinya pelanggaran perjanjian secara masif, saat merebaknya reformasi. Makanya pada tahun 2010 muncul lagi riang-riang konflik, tapi tidak sempat terjadi konflik berdarah atau kontak fisik. Ketika ada tuntutan untuk menertibkan gereja, selalu pemerintah berjanji nanti kita tertibkan. Nah, banyak orang bilang konflik sekarang ini adalah bara api yang sudah lama disimpan dulu, kita tidak tahu apakah ini ada kepentingan politik, itu biasanya memang emosi yang memuncak yang dipating sedikit saja, kalau secara psikologis akan meledak.
Ini barang kali bisa di asumsikan seperti itu. Setelah reformasi sampai tahun 2010, 2012 banyak kita lihat riang-riag protes dari umat Islam dengan tidak konsisten umat Kristen dengan hasil perjanjian tahun 1979.
Bagaimana Anda melihat relasi hubungan umat Kristen dan Islam di Aceh Singkil?
Melihat hubungan sosial untuk mereka konflik itu kecil, sebab di tempat yang tejadi pembakaran gereja tersebut. Apa kata mereka tidak mungkinlah kami berperang, sebab di antara kami ini masih terikat hubungan darah. Melihat dari ini saya juga agak heran ada modal hubungan persaudaraan yang kuat antara mereka. Nah, ini muncul berbagai analisa barang kali juga ini ada penyebab faktor dari luar, walaupun ikatan persaudaraan itu kuat, ketika ada pengaruh dari faktor luar, maka bumbu konflik yang terjadi akhirnya memuncak.
Perkawinan antar etnis, di Aceh Singkil acap kali terjadi. Dalam acara walimahnya atau pesta perkawinan, selalu menampilkan adat dan budaya beraneka ragam. Semuanya saling sepaham, menghormati, tidak pernah terjadi gesekan apalagi cekcok dan berkonflik
Apa harapan Anda kepada masyarakat dan pemerintah Aceh Singkil?
Indahnya berbangsa dan bernegara ini adanya kebersamaan, saling memahami, saling memberi kebebasan untuk melaksanakan keyakinan yang dianut dengan cara tidak menganggu keyakinan orang lain atau istilah tidak menyebarkan agama kepada orang yang sudah beragama. Aturan harus tegas, kalau boleh katakan boleh dan harus konsisten, dan kalau tidak boleh katakan tidak boleh dan jelas, hitam diatas putih, jangan bermain di wilayah abu-abu. Ketika bermain di wilayah abu-abu akhirnya menjadi abu, inilah yang terjadi.