“Tuntutlah Ilmu Walau ke Negeri China.” Demikian kata teungku atau penceramah sejak kita masa kecil yang disebutnya sebagai hadits. Pelajar pun bersemangat belajar agar bisa belajar ke luar negeri seperti anjuran hadits tersebut. Umat Islam dilarang keras bermalas-malas atau bodoh sehingga perlu belajar walaupun ke China. Seiring perkembangan ilmu, yang disebut hadits yang dalam bahasa Arab berbunyi Uthlub al-‘ilm walau bi ash-shin yang bermakna “Tuntutlah Ilmu, walau ke negeri China” bukanlah hadits.
Dalam buku “M. Quraish Shihab Menjawab” dijelaskan, hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi, Abu Nu’aym dalam kitabnya yang berjudul Akhbar Ishfahan dan Abu al-Qasim al-Qusyayri dalam kitabnya al-Arba’in. Menurut M Quraish, salah seorang jalur perawinya adalah Abu ‘Atikah Tharif bin Sulayman, yang dinilai sangat lemah, tidak tepercaya, dan pembuat hadits-hadits palsu.
Dalam kitabnya yang berjudul al-Mawadhu’at (Kumpulan Hadits Palsu), Ibnu al-Jawzi menulis hadits itu batil dan mengutip pendapat Ibnu Hibban yang menyatakan hadits itu mempunyai jalur lain serta tidak memiliki dasar. Ada beberapa ulama yang menilai hadits shahih namun ditolak oleh banyak ulama. Di antaranya ulama hadits Muhammad Nashiruddin al-Albani
Berkaitan dengan China, kita harus akui kemajuan ekonomi mereka bisa mengalahkan Jepang atau Amerika Serikat. Mengapa bisa maju? Rakyat dan pemerintah gigeh untuk makmur bersama. sistem pemerintahan mereka sederhana. Presiden dihasilkan berdasarkan jejak rekam di pemerintahan. Bukan berdasarkan partai politik tetapi. Wakil rakyat mencapai 1.000 orang yang merupakan perwakilan daerah. Di China tidak perlu ongkos pemilu dan membiayai wakil rakyat. Indonesia menghabiskan minimal Rp40 triliun untuk memilih presiden & wakil serta 500 wakil rakyat di dewan.
Nah sistem memilih rakyat di parlemen itu sudah dilakukan oleh Kerajaan Aceh yang juga mengakomodir perwakilan dari perempuan dan sebagainya. jadi rakyat Aceh tidak perlu belajar demokrasi ke China atau Amerika Serikat. Dalam islam tidak ada demokrasi alias suara terbanyak yang menjadi pemimpin. Sistem itu menempatkan suara 1 teungku itu sama dengan suara 1 koruptor atau penjudi. Duek pakat atau musyawarah adalah cara terbaik untuk mendapatkan pemimpin yang peduli pada umat.
Di Indonesia, koruptor ditahan beberapa tahun hingga belasan tahun di penjara. Ini menghabiskan uang negara untuk beri makan koruptor dan terus membangun penjara. Indonesia perlu ubah undang-undang agar harta koruptor bisa disita agar koruptor jadi miskin. Di China, mencuri dengan kekerasan, dihukum mati, korupsi diatas Rp. 1 miliar, hukuman mati, mencuri ringan tanpa kekerasan, hukumannya kerja paksa, korupsi di bawah Rp. 1 miliar kerja paksa dan lain-lain.
Di China tidak butuh banyak pengacara dan penjara. Maklum China punya 1,3 miliar penduduk yang harus diberikan makanan. Koruptor disuruh kerja paksa membangun saluran air dan lain-lain. Beda di Ibu Pertiwi yang para napi kurang aktivitas di penjara hingga dibebaskan. Ya ada beberapa penjara yang punya bengkel untuk melatih keterampilan.
Di China bebas menganut agama apa pun kecuali di daerah Muslim Uighur yang diawasi karena sebab tertentu. China itu negara komunis yang berbeda dengan peanganut atheis. Di Indonesia hingga tahun 1965 ada Partai Komunis Indonesia yang pengurus dan pemilihnya tetap beribadah. Bahkan Partai Komunis Indonesia Cabang Aceh memiliki wakilnya di DPRD Atjeh yang dipilih oleh pemilihnya di Aceh. China melarang umat beragama mengorganisir warga untuk kepentingan politik atas nama agama.
Di China juga dilarang berdemo atau unjuk rasa seperti di Singapura. Prinsip pemimpin di China atau Singapura, mau bebas bicara namun susah hidup atau terpenuhi kehidupan dengan dipasung kebebasan berdemokrasi. [Murizal Hamzah]
Merawat Ukhuwah Islamiyah Di Tahun Politik
surat al Hujarat ayat 12,