GEMA JUMAT, 26 APRIL 2019
Dr. Sulaiman Tripa, SH, MH
Kalau dalam setahun hanya ada 365 hari untuk menghasilkan karya 44 buku, maka rata-rata membutuhkan waktu untuk menulis satu judul buku adalah sekitar 8,3 hari. Mungkinkah? Ternyata tidak hil yang mustahal bagi Dr Sulaiman Tripa, SH, MH kelahiran Pante Raja 2 April 1976 ini. Memang tahun 2019 merupakan sesuatu yang isimewa bagi alumni S3 jurusan Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang (2017). Ia ingin menorehkan sejarah bahwa di usianya 43 tahun mampu menulis 44 buku dalam berbagai bentuk seperti buku ilmiah, sejarah, kumpulan cerpen, puisi dan lain-lain.
Sulaiman menjelaskan, hobbi menulis pertama sekali muncul sejak 1992, kelas 2 SMP. “Waktu itu saya kirim karya ilmiah remaja. Apa yang saya tulis waktu itu, sebenarnya jauh dari karya ilmiah. Namun alhamdulillah saya dapat surat penghargaan dari Dirjen Dikti. Tentu saja kepala sekolah saya waktu itu sangat senang dan memuji saya, maklum sekolah kami berada di pelosok kampung,” kenangnya.
Sejak tahun 2001, dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini mengaku diajak oleh Yarmen Dinamika wartawan senior Serambi Indonesia, menggarap buku 40 Tahun Universitas Syiah Kuala. Setelah itu animo menulis kian membara. Tahun itu juga, ia menulis buku tipis berjudul Kekerasan Itu Tak Damai Sekalipun Hanya Sekali. Lalu Tahun 2002 menulis buku Mencari Bumi yang Tak Gelisah, kerjasama dengan BEM Unsyiah. Walhasil hingga saat ini Sulaiman telah menerbitkan 78 judul buku, sebagian diterbitkan di Jakarta dan Yogyakarta. Ada sejumlah judul beredar di jaringan toko buku nasional. Jika semua karya tulis termasuk puisi, cerpen, dan novel dikumpulkan baik buku sendiri maupun buku bersama, maka terdapat 114 buku, termasuk mengedit 31 buku. Secara khusus, ia mengucapkan terima kasih kepada Penerbit Bandar Publishing Banda Aceh yang banyak menerbitkan karya-karyanya.
Ketika ditanya bagaimana trik membagi waktu untuk menulis, secara filosofis suami dari Yuli S. Ridwan menjawab bahwa siapapun perlu komitmen dalam hidup. “Orang yang punya banyak waktu luang, tapi tidak punya komitmen, toh tidak akan menghasilkan apa-apa. Pada taraf tertentu, saya juga yakin setiap kita punya kekuatan untuk mengeluarkan apa yang kita pikirkan,” ulasnya. Sebagai manusia, ia juga merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Ada waktu tertentu tidak bisa melakukan apa-apa, ada waktu yang lain bisa menulis lebih dari target.
Anak dari pasangan Tgk. Umar Ahmad dan Hj. Qamariah Ahmad ini menyadari, ia berasal dari kampung yang pernah mengalami kondisi tidak mengenakkan dalam sejarah kemanusiaan. Namun di balik sisi gelap, selalu ada hikmah dari sebuah perjalanan kemanusiaan. “Saya ingin bangsa ini memetik kedua-duanya. Sesuatu yang buruk harus diingat biar tidak terulang, namun sesuatu yang baik, harus dikembangkan agar wanginya terus semerbak dan membesar”, ujarnya. baskar