Gema JUMAT, 25 Desember 2015
Banda Aceh (Gema) – Islam dibawa Rasulullah Saw bukanlah Islam dari organisasi tertentu dan bukan pula Islam dari kelompok tertentu. Artinya, Islam yang dibawa Muhammad Saw, bukanlah Islam NU, bukan Islam Muhamadiyah, dan bukan pula I s l a m nisbiyahnisbiyah y a n g lain, tetapi Islam yang Rasulullah bawa adalah Islamiyah yang terangkum dalam karakter syariah. Demikian disampaikan Dr. Tgk. H. Ajidar Matsyah, Lc, MA, dalam ceramah Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad Saw di Mesjid Raya Bairurrahman Banda Aceh, Rabu (23/12) malam.
Menurut Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini, ada empat karakter syariah yang menjadi model akhlak para pemimpin dan masyarakat. Karakter pertama adalah merobah kebiasaan. Nabi Muhammad Saw datang dengan membawa syariat.
Kedatangan beliau juga merubah dan menggantikan kebiasaankebiasaan umat yang buruk menuju pada kebenaran dan kebiasaan yang lebih baik dengan landasan syariat. Dari hal ini, lanjut dia bahwa perubahan tidak akan terjadi, jika tidak dilakukan oleh pemimpin. Nabi Muhammad Saw saat ke Madinah, dipandang sebagai sosok pemimpin yang disegani, baik disegani oleh kawan, maupun disegani oleh lawan. Membawa misi perubahan merupakan karakter syariat dan karakter kepemimpinan, sehingga peran Nabi Muhammad Saw juga sebagai muslih (Pembaharu).
Perjuangannya telah mampu merubah tradisi umat dan menggantikannnya dengan yang lebih baik. Dalam konteks masyarakat hari ini, kata dia sangat dibutuhkan pemimpin atau orang-orang yang muslih, karena seorang muslih lebih baik dari seribu orang shalih. Dalam masyarakat Aceh, kadangkala dalam banyak hal, selalu menjadi masbuk, sehingga yang diperlukan saat ini adalah banyaknya orang-orang muslih, agar tidak selalu menjadi orang yang tertinggal.
Selanjutnya, karate syariat yang kedua, yakni toleransi Islam datang dengan membawa toleransi di tengah-tengah umat manusia. Kehadiran syariat yang membawa sikap toleransi ternyata membentuk umat lebih dewasa dan lebih matang. Bersikap toleransi pada hal-hal yang dibolehkan toleransi, baik sesama muslim maupun dengan non-muslim merupakan karakter dan jiwa syariat itu sendiri.
Sifat tasamuh atau toleransi, kata alumni Al Azhar Mesir ini merupakan tidak berlaku pada hal-hal akidah dan pada ushuliyah, tetapi toleransi berlaku pada halhal Fiqhiyah Furu`iyah. Masalah furu`iyah termasuk di dalamnya masalah politik. Bertoleransi dalam politik dapat bermakna mundur selangkah untuk mencapai tujuan yang lebih besar, atau minimal saling mengalah untuk mencapai kemaslahatan rakyat.
Sedangkan karater keempat yaitu, adanya persamaaan. sebab, kehadiran syariat telah menghilangkan kasta-kasta dalam masyarakat dan menggantikannya dengan konsep al-musawah atau persamaan. Artinya sama taraf dalam segala hal, terutama di depan hukum. Dalam sejarah Islam, konsep al-musawah juga pernah dipraktikkan oleh Umar bin Abdul Aziz saat menjadi seorang khalifah yang adil dan bijak. Keadilan dan kebijakannya tercermin dalam praktek pemerintahannya yang tidak menguntungkan diri sendiri saja, tetapi juga tidak merugikan orang lain.
Prinsip-prinsip persamaan yang diajarkan Islam dan dicontohkan Rasulullah s.a.w. seakan-akan hilang jika dihubungkan dengan kenyataan dari prilaku politik rakyat dan bangsa kita saat ini. Misalnya, dalam kehidupan masyarakat Aceh hari ini, Aceh tidak mungkin dapat dibangun oleh sekelompok orang saja, tetapi perlunya menggandeng semua pihak untuk membangun Aceh yang bermartabat, sehingga Aceh menjadi satu dan satu Aceh untuk semua orang. Terakhir, karater syariat menurut Tgk Ajidar Matsyah yang jadi model akhlak kita bersama adalah Islam datang dengan membangun ukhuwah sesama umatnya sendiri (ukhuwah islamiyah) maupun dengan manusia sejagat (ukhuwah insaniah). Ukhwah adalah bagian ushuliah, bukan hal furu`iyah.
Ungkapan ukhuwah memang sangat sederhana dan sering kita mengucapkannya, sehingga kita merasakan bahwa ukhuwah merupakan hal yang biasa. Padahal jika dikaji lebih mendalam, konsep ukhuwah merupakan akhlak dan karakter syariah yang paling inti dalam Islam. Buktinya, ketika Nabi s.a.w. tiba di Madinah, perkara pertama yang beliau lakukan adalah mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Salah satu kekuatan ukhuwah ialah adanya hubungan silaturrahmi, karena dengan silaturrahmi, konfl ik dapat menjadi damai, kebencian akan bertukar dengan kasih sayang. (Marmus)