Ratusan massa menggelar aksi damai di halaman depan Pengadilan Negeri Banda Aceh untuk “mengawal” proses persidangan lanjutan terhadap enam pengurus DPD Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) Aceh, Selasa (26/5).
Dalam aksi tersebut, massa yang terdiri dari perwakilan Ormas Islam, ulama dayah, tokoh masyarakat, PGRI dan sejumlah PNS di lingkungan Pemko Banda Aceh, meminta agar majelis hakim yang menangani perkara penistaan agama ini menjatuhkan vonis seberat-beratnya kepada para terdakwa.
Mereka menilai keberadaan Gafatar -penjelmaan dari Milata Abraham yang telah dinyatakan sesat oleh MUI- di Aceh yang menerapkan Syariat Islam sangat meresahkan masyarakat dan berpotensi merusak akidah umat Islam.
Usai melakukan orasi secara bergantian, mereka turut mengikuti proses persidangan dengan agenda mendengarkan keterangan tiga saksi ahli yang dihadirkan oleh penasehat hukum Ketua Gafatar Aceh Abdul Fatah Cs.
Ketiga saksi ahli tersebut adalah Profesor Yusni Saby PhD dalam kapasitasnya sebagai pakar Teologi, T Kemal Fasya SAg MHum Dosen Antropologi Fisip Unimal Lhokseumawe dan Drs H Sofyan M Saleh SH MM, mantan Ketua Mahkamah Syariah Aceh.
Selama memberikan kesaksiannya, Yusni Saby kerap mendapat sorakan dan cemoohan dari para pengunjung yang memadati ruang sidang PN Banda Aceh karena dianggap pro Gafatar. Beberapa kali pula hakim meminta hadirin untuk tenang dan meminta petugas keamanan untuk menertibkan pengunjung sidang.
Menurut pria yang pernah menjabat sebagai Rektor UIN Ar-Raniry ini, jika ada kelompok yang dianggap menyimpang menurut ajaran Islam, maka penyelesaiannya seharusnya melalui pendekatan-pendekatan dialogis.
“Ini juga menjadi tanggung jawab dari lembaga-lembaga agama maupun ulama di Aceh untuk meluruskan mereka. Mereka harus dibina dan dididik secara terus menerus bukan dipenjara,” kata Yusni yang disambut sorakan dari pengunjung.
Saksi ahli berikuttnya, T Kemal Fasya, memaparkan secara sekilas soal riset yang dilakukannya terkait penanganan terhadap kelompok Gafatar di Kabupaten Muaro Jambi dan Musi Banyuasin.
“Kasus Gafatar di Jambi tidak diramaikan di media, karena ditakutkan akan memunculkan kemarahan massa dan situasi yang tidak kondusif. Di sana diselesaikan secara kekeluargaan. Demikian pula Gafatar di Musi Banyuasin, dengan pendekatan persuasif dan dialogis,” katanya. (adv)