Gema JUMAT, 15 Januari 2016
Khutbah Jum’at, Dr. Tgk. Salman Abdul Muthalib, MA, Sekretaris Pasca Sarjana UIN Ar-Raniry
DALAM menjalani ajaran-ajaran agama kita, sandaran utama adalah Alquran dan hadis. Allah dan Rasul melalui Alquran dan hadis telah memberikan semua pedoman hidup bagi kita, hanya saja terkadang apa yang ada dalam Alquran dan hadis tidak dapat dipahami secara langsung oleh umat, sehingga para ulama telah berusaha semaksimal mungkin untuk menggali hukum-hukum yang terkandung dalam dua sumber tersebut, hasil penggalian ulama atau pemahaman mereka tersebut dinamakan dengan fi kih, yaitu pemahaman terhadap isi Alquran dan hadis.
Kebenarana isi Alquran dan hadis apa adanya, sebelum ikut campur tangan manusia dalam memahaminya adalah mutlak, kebenarannya tidak boleh diragukan lagi, keduanya pasti benar. Tetapi ketika ulama memahami Alquran dan hadis dan kemudian menghasilkan beragam pemikiran, maka kebenarannya menjadi relatif, bisa jadi benar dan bisa jadi salah. Tetapi dalam hal ini Nabi telah memberikan motivasi yang besar bagi para ulama yang berijtihad (berusaha) untuk memahami Alquran dan hadis dengan sabdanya:
Seorang mujtahid jika dia berijtihad (menggali hukum dari Alquran dan hadis), sendainya hasil ijtihadnya itu benar, maka ia akan dapat dua pahala (pahala telah berusaha untuk berijtihad dan pahala kebenaran yang dihasilkannya), dan jika senadainya hasil ijtihadnya itu salah, maka ia tetap mendapat satu pahala (pahala usaha untuk berijtihad).
Kita tidak tahu mana yang benar hasil ijtihad di antara mereka, hanya Allahlah yang tahu mana yang benar. Karena itu, untuk menghindari diri dari sifat kesombongan, maka ulama-ulama terdahulu setelah banyak memberi komentar terhadap makna yang terkandung baik Alquran maupun hadis, mereka selalu iringi dengan ucapan wallahu a’lam bissahawab (hanya Allah lah yang tahu tentang hakikat kebenaran)
Jadi, dari pemahaman hadis di atas, memberikan gambaran kepada kita betapa Islam itu memberikan ruang bagi kita untuk dapat berbeda, bahkan dalam banyak ungkapan dikatakan perbedaanperbedaan dalam memahami agama itu sebagai rahmat bagi umat Islam, asalkan perbedaan-perbedaan tersebut tidak melenceng dari dasar-dasar agama yang telah disepakati oleh umat Islam.
Para ulama telah berusaha semaksimal mungkin untuk melahirkan suatu kesimpulan dari Alquran dan hadis, dengan tujuan semoga pemahaman itulah yang dikehendaki oleh Allah dan Rasulnya, tetapi sekali lagi kita dan para ulama sehebat apapun tetap sebagai manusia biasa yang sangat mungkin apa yang dipahaminya itu benar sesuai dengan kehendak Allah dan bisa saja tidak seperti yang diinginkan Allah. Apalagi Alquran dan hadis dari segi dilalah (pemahamannya) ada yang jelas, kadang-kadang ada juga yang tidak dipahami secara mudah.
Dalam memahami Alquran dan hadis, para ulama punya metode yang berbeda antara satu dan lainnya. Mereka punya cara-cara tertentu, tujuannya adalah sama, yaitu menggali hukum-hukum yang ada dalam Alquran dan hadis untuk dapat diterapkan dalam keseharian kita. Hanya saja, akibat dari perbedaan metode yang mereka gunakan, berbeda pula hasil yang ditemukan sehingga menghasilkan beragam pendapat di kalangan umat Islam itu sendiri.
Masalah batal wudhu misalnya yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 6, (Batal wudhuk karena bersentuhan dengan perempuan), hanya berasal dari satu ayat, tetapi para ulama berbeda pendapat sampai beberapa macam. Abu Hanifah mengatakan tidak batal wudhuk kalau hanya sebatas sentuhan biasa. Imam Malik tidak batal kecuali jika sentuhan dengan syahwat. Sementara Imam Syafi ’i mengatakan batal, baik bersyahwat maupun tidak.
Perbedaan-pendapat seperti ini tidak dapat dielakkan, para sahabat sekali pun dulu juga berbeda pandangan dalam memahami agama, sebagai contoh ketika Rasul mengutus beberapa sahabat ke Bani Quraydah, dalam sabdanya beliau berkata kepada mereka:
”Janganlah ada di antara kalian yang salat asar kecuali di perkampungan Bani Qurayzah.”
Hadis ini mengenai praktik sahabat ketika Rasul memerintahkan sejumlah mereka untuk pergi ke perkampungan Bani Qurayzah. Sebelum berangkat, Nabi berpesan: Janganlah ada salah seorang di antara kalian yang salat Asar, kecuali di perkampungan Bani Qurayzah.
Ternyata perjalanan ke kampung Bani Quraydah cukup lama, sehingga sebelum mereka sampai di tempat tujuan, waktu Asar telah habis. Sebagian mereka memahami perintah Rasul secara tekstual. Oleh karena itu, mereka baru salat Asar setelah waktunya habis, karena mereka baru tiba di perkampungan Bani Qurayzah pada waktu Magrib.
Sebagian yang lain memahami perintah Rasul itu secara kontekstual, yang dipahami mereka adalah mereka harus bergegas dalam perjalanan agar segera tiba di sana dalam waktu Asar, jangan sampai Magrib, bukan seperti bunyi teks yang melarang salat Asar kecuali setelah sampai di tempat yang dituju. Dengan demikian, mereka boleh melaksanakan salat Asar meskipun belum tiba di perkampungan tersebut.
Ketika berita perbedaan pendapat ini disampaikan kepada Rasul, tidak seorang pun di antara mereka yang dimarahi oleh Rasul. Dari kasus ini seolah-olah dapat dipahami bahwa kebenaran itu bias saja jamak, bukan tunggal, bukan hanya satu.
Selain kasus di atas, dalam beberapa persoalan ada ulama yang memahami ayat Alquran dan hadis secara tekstual, apa yang tertulis dalam teks Alquran dan hadis itulah yang dia amalkan, ada juga yang memahami agama dengan cara kontekstual, maksudnya dia tidak hanya melihat teks yang ada, tetapi apa substansi atau pesan utama yang ada di belakang teks itu. Situasi dan kondisi ketika Nabi menyampaikan sesuatu juga harus dijadikan pertimbangan dalam memahami hadis.
Banyak sekali kita lihat contoh yang muncul dalam masyarakat, misalnya Persoalan siwak (kayu yang digunakan untuk membersihkan gigi), Nabi berkata: Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka menggunakan siwak setiap kali mau mengerjakan salat.
Sebagian memahaminya secara tekstual, sampai sekarang tetap ada sekelompok orang yang menggunakan kayu tersebut membersihkan gigi ketika ingin mengerjakan salat, tetapi sebagian yang lain memahaminya secara kontekstual, yang dimaksud dari hadis ini bukanlah persoalan kayu, tetapi persoalan kebersihan gigi, jadi kalau kita menggunakan pasta gigi pun seperti pepsodent, itulah yang diinginkan Rasul, tujuannya adalah kebersihan gigi, apapun sarana yang kita gunakan tetapi bisa.
Masalah memakai celana di atas mata kaki, sering kita lihat ada sebagian jamaah yang memakai celana di atas mata kaki, ini bukannya tidak ada dasar dalm Islam, kebiasaan orang Arab dulu, untuk memperlihatkan kehebatannya, kesombongannya mereka memakai pakaian menutup mata kaki sampai menjulur ke tanah, karenanya Nabi melarang perilaku tersebut dan berkata:
“Barang siapa yang menjulurkan pakaiannnya karena kesombongan, maka Allah tidak akan memperhatikannya nanti pada hari Kiamat.”
Setelah mendengar hadis itu Abu Bakar merasa tidak nyaman (karena dia juga memakai pakaian yang menutupi mata kaki), dia bertanya kepada Rasul, wahai Rasul, bagaimana dengan saya ini, apakah saya termasuk orang yang tidak akan diperhatikan Allah nanti, dengan santai Nabi menjawab: “Anda tidak termasuk orang-orang yang melakukannya karena kesombongan.”
Jadi, yang jadi persoalan dalam kasus ini adalah persoalan sombong, bukan mengenai cara berpakaian, sehingga kalau kita memakai sarung atau celana yang menutupi mata kaki dan budaya kita hal itu tidaklah menunjukkan kesombongan, maka tidak jadi persoalan dalam Islam.
Karena itu, dalam memahami agama perlu ilmu tentang asbab wurud, latar belakang mengapa Nabi menyabdakan hadisnya, tanpa asbab wurud maka akan pincang memahami agama. Dari berbagai hasil pemahaman terhadap Alquran dan hadis, perbedaan yang ada dalam memahami agama janganlah menjadikan kita saling terpecah belah, itulah keberagaman pikiran yang telah diwariskan oleh para ulama terdahulu dalam menyimpulkan hasil pemikiran mereka terhadap Alquran dan hadis Nabi.
Para ulama terdahulu termasuk imam mazhab, meskipun berbeda dalam memahami Alquran dan hadis, tetapi mereka tetap saling toleran antara satu sama lain, bahkan saling memuji dan memahami. Imam Hanbali misalnya pernah memberi komentar: Seandainya tidak ada Imam Syafi ’i, sungguh kita tidak paham apa isi Alquran dan sunnah. Sebaliknya Imam Syafi ’i yang lebih senior juga memuji Imam Hanbali, dia pernah berkata: Tidak pernah saya lihat seseorang di Baghdad yang lebih cerdas dan pintar dari Ahmad bin Hanbal.
Meraka para ulama, imam mazhab yang kita ikuti pendapat mereka, yang kita baca karya-karya mereka, mereka saling toleran, saling menghargai bahkan saling memuji, mengapa kita yang hidup lebih dari seribu tahun setelah mereka, yang tidak menghasilkan karya-karya sehebat mereka, bahkan ada yang bertaklid buta terhadap mereka, kita tidak bias saling memahami antara sesame, bahkan karena persoalan kecil yang bukan inti dari agama dapat memecahkan persaudaraan.
Karena itu, diujung nasehat ini, mari kita samasama memiliki sifar tolensai, saling menghargai perbedaan yang ada, bahkan seharus saling memberi apresiasi sesame kita, sehingga persaudaran Islam, persatuan umat tetap terjaga sepanjang masa.