GEMA JUMAT, 29 JUNI 2018
Oleh : Prof.Dr.H.Syahrizal Abbas. MA
(Khatib Guru besar Hukum Islam UIN Ar Raniry Banda Aceh)
Allah SWT menegaskan salam surah al-Baqarah ayat 208 yang artinya :
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah kamu turuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”.
Ayat ini menggambarkan bahwa setiap muslim hendaknya memiliki keinginan dan berusaha mewujudkan syari’at Islam secara kaffah, dalam seluruh dimensi kehidupannya. Syari’at Islam mesti menjadi nidham, yang mengatur setiap prilaku muslim, baik dalam aspek teologi, ibadah ritual, sosial, hukum, pendidikan, ekonomi bahkan politik. Artinya tidak ada satu dimensi pun dari kehidupan umat Islam yang luput dari pengaturan syari’at Islam.
Syari’at Islam adalah seperangkat ketentuan Allah yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia denga sesama dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya. Makna syari’at Islam yang sangat normative ini, memerlukan penjelasan dan interpretasi dari para ulama. Kegiatan ini dirasakan sangat penting mengingat manusia dengan dinamika sosialnya, memiliki karakteristik yang selalu berubah, dinamis dan tidak statis. Syari’at Islam yang bersumber dari wahyu Allah yang suci, hendaknya dimaknai sebagai asas filosofi dalam membangun tata sosal dan tata hukum, yang akan mengatur prilaku manusia. Pemahaman dan interpretasi terhadap al-Qur’an dan al-Hadis, telah dilakukan oleh para ulama mazhab, yang hasilnya termaktub di dalam berbagai kitab fiqh mazhab.
Upaya menjembatani pesan suci, baik yang terdapat dalam al-Qur’an maupun al-Hadis Rausulullah SAW, dilakukan oleh para ulama mazhab (fuqaha’), dalam rangka membumikan syari’at Islam sebagai ajaran rahmatan lil ‘alamin. Syari’at Islam diturunkan oleh Allah SWT bertujuan untuk mewujudkan kebaikan, kemaslahatan dan tidak ada sama sekali bertujuan untuk memberatkan dan menganiaya manusia. Bahkan menurut Islam, binatang dan lingkungan pun tidak boleh didhalimi. Syari’at Islam bertujuan memelihara hak-hak manusia dan memberikan mereka perlindungan serta keselamatan dan perdamaian. Oleh karena itu, merasa takut terhadap syari’at Islam, apalagi memusuhinya merupakan tindakan dan sikap yang tidak beralasan.
Pemberlakuan syari’at Islam di bumi Aceh secara yuridis formal didasaran pada UU No. 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaaan Provpinsi Daerah Istimewa Aceh Aceh dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Kehadiran kedua undang-undang ini telah memposisikan tanggung jawab pelaksanaan syari’at Islam, bukan hanya menjadi kewajiban setiap pribadi muslim, akan tetapi telah menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan syaruiat Islam, tidak lagi berkisar seputar ibadah mahdhah yang bersifat ritual, perkawinan dan kewarisan, tetapi telah mencakupi kepada hukum mu’malah dalam arti luas dan bahkan sampai hukum pidana (jianyah). Upaya mewujudkan tanggung jawab besar ini menghendaki komitmen serius dan kehendak politik kuat (political will) dari pemerintah. Pemerintah tidak boleh berlepas tangan, tetapi harus memastikan keberlangsungan pelaksanaan syariat Islam secara bertahap dan terukur di bumi Aceh.
Pada sisi lain, kaum muslimin juga tidak serta merta membebankan tugas dan tanggung jawab pelaksanaan syariat Islam kepada pemerintah an-sich, tetapi juga harus memiliki peran aktif dan komitmen kuat melaksanakan syariat Islam sebagai kewajiban dari Allah SWT sebagaimana diperintahkan Allah dalam surah al-Baqarah ayat 208. Oleh karena itu, tanggung jawab pelaksanaan syraiat Islam, tidak hanya berada di pundak aparatur pemerintah, tetapi berada di atas setiap pribadi muslim. Pemerintah tentu harus memiliki cara dan strategi yang tepat, agar syariat Islam dapat terwujud di Bumi Aceh secara sempurna dalam waktu yang tidak terlalu lama. Mengingat, syariat Islam adalah satu-satunya jalan yang mengantarkan umat manusia pada kebaikan, kemaslahatan, kedamaian dan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh.
Pelaksanaan syari’at Islam secara menyeluruh di Bumi Aceh, merupakan tantangan yang amat berat, sekaligus peluang dalam rangka mengembalikan Aceh pada hakikat Serambi Mekkah sebagai negeri yang menjalankan syari’at Allah, negeri Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur. Tantangan tersebut dapat saja berasal dari keterbatasan pemahaman masyarakat terhadap konsepsi syari’at Islam dan pelaksanaannya, tindakan dan prilaku masyarakat dan bahkan tantangan dapat juga berasal dari negara yang menganut sistem hukum tertentu yang berbeda dengan sistem hukum syari’at.
Dalam rangka menjaga keberlangsungan pelaksanaan syari’at Islam di Aceh, dapat diacu cara dan strategi yang dipergunakan Rasulullah SAW ketika menyebarkan Islam pada periode Makkah dan periode Madinah. Meskipun kasus dan era berbeda antara masa Rasulullah dengan masa sekarang, namun prinsip dasar relatif sama seperti pelaksanaan syari’at Islam dilakukan secara bertahap (gradual), memperhatikan kemampuan masyarakat memahami syari’at, penanaman akidah dan akhlaq sebagai dasar pelaksanaan hukum syari’at, serta menjadikan keluarga sebagai sasaran utama membangun generasi bangsa. Syari’at Islam akan berhasil dalam pelaksanaannya, jika setiap anggota keluarga memiliki dasar akidah yang kuat dan membudayanya akhlaq al-karimah. Keberhasilan pelaksanaan syari’at Islam bukan hanya diukur seberapa banyak perkara yang berhasil diputuskan oleh Mahkamah Syar’iyah dan dilaksanakan putusan tersebut (eksekusi), tetapi yang menjadi indikator utama adalah semakin rendahnya tingkat pelanggaran syari’at, sehingga dapat dipastikan semakin tinggi kesadaran untuk menjadikan hukum Allah sebagai pelindung, pengayom yang pembawa kemaslahatan bagi diri, keluarga dan masyarakat.
Upaya lain yang dapat dilakukan adalah membangun pemahaman bersama (common understanding) tentang syari’at Islam. Syari’at Islam dalam makna teks suci yang berasal dari al-Qur’an dan al-Hadis memiliki sifat yang permanen, tidak berubah dan tentunya harus dibedakan dengan fiqh yang memiliki sifat dinamis dan berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Pemahaman ini menjadi penting sehingga tidak bercampur antara makna syari’ah di satu pihak dengan makna fiqh di pihak lain.
Pelaksanaan syari’at Islam dalam kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat perlu dikosentrasikan pada tiga hal yaitu penguatan akidah islamiyah, pemantapan akhlaq al-karimah dan penyiapan aturan hukum syari’at. Aspek akidah dan akhlaq lebih menonjol sisi pendalaman dan penghayatan. Sementara aspek hukum syari’at lebih menjurus pada sisi tindakan-tindakan praktis lahiriyah sehari-hari. Meskipun demikian, baik aspek lahiriyah maupun batiniyah merupakan dua hal yang saling memperkuat satu sama lain dalam membentuk manusia yang paripurna (insan kamil). Di sini posisi syari’at Islam menjalin hubungan antara manusia dengan Allah dan hubungan manusia sesamanya secara teratur (reguler). Ketentuan ini pula yang menyebabkan syari’at tidak dapat dipisahkan dengan etika atau akhlaq.
Memperkuat isntitusi keagamaan, melalui peningkatan kegiatannya dalam kehidupan bermasyarakat, tentu akan berpengaruh pada penanaman akidah dan pembinaan akhlaq. Upaya ini pula yang akan menjadi sarana tepat bagi program sosialisasi syari’at Islam. Pada sisi lain, keseriusan dan i’tikad baik dari semua pihak akan menentukan berhasil tidaknya pemberlakukan syari’at Islam di bumi Aceh. Semua kita semestinya menyadari bahwa melaksanakan syari’at Islam merupakan perintah Allah dan allah melarang mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Dalam surah al-Jatsiyah ayat 18 Allah memperingatkan kita, yang artinya :
Kemudian Kami jadikan syari’at kepada engkau sebagai perintah kepada mu, maka ikutilah dan jalankan syari’at tersebut, dan janganlah mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahuinya.