Saiful Mahdi, S.Si, M.Sc, Ph.D – Dosen Universitas Syiah Kuala – Banda Aceh
Setiap keluarga pasti menginginkan keluarga yang harmonis. Yang didalamnya penuh ketenangan dan kasih sayang. Walaupun demikian, terkadang fakta tak sesuai harapan. Hampir setiap hari kita disuguhi berita dan fakta seputar percekcokan keluarga. Pertengkaran, perselingkuhan, hingga pembunuhan antar suami istri sungguh memiriskan hati. Bahkan tidak sedikit rumah tangga yang berujung pada perceraian. Simak wawancara singkat wartawan Tabloid Gema Baiturrahman Indra Kariadi dengan Dosen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Saiful Mahdi, S.Si, M.Sc, Ph.D
Apa yang melatarbelakangi meningkatnya angka perceraian di Aceh?
Keadaan gampong hingga keluarga sebagai unit sosial terkecil adalah cermin keadaan sosial-ekonomi yang lebih makro yaitu bangsa dan dunia global. Menurut data yang ada, salah satu alasan utama cek-cok keluarga hingga perceraian adalah masalah ekonomi. Tapi masyarakat kita pernah lebih sulit ekonominya, tapi kenapa sekarang lebih tinggi perceraiannya?, Saya pikir ini juga masalah kesenjangan dan ketidakadilan. Bukan semata masalah kemiskinan.
Tuntutan hidup yang makin hedonis memunculkan kesenjangan dan ketidakadilan. Mereka yang tidak sabar dan tidak pandai bersyukur, baik suami maupun istri, akan lebih mudah terpancing cek-cok. Ini juga terlihat dari angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan pada anak, kekerasan pada perempuan, dan kekerasan seksual (KS) yang juga terus meningkat di Aceh.
Bagaimana merencenakan sebuah keutuhan rumah tangga?
Perlu perencanaan yang baik. Inilah yang kita sebut “keluarga berencana” (KB). Jadi KB itu bukan melulu tentang kontrasepsi. Tapi tentang perencanaan untuk berkeluarga. Mau naik haji yang sekitar 1 bulan saja kita harus manasik cukup lama. Masak untuk bahtera rumah tangga yang diharapkan seumur hidup, persiapan dan perencanaanya hanya lewat satu pertemuan dengan penghulu dan khutbah nikah?. Perlu 10-16 kali pertemuan yang kalau serius dikerjakan bisa seperti kuliah satu semester. Karena itu, untuk merencanakan keluarga paling tidak perlu memastikan tiga hal: Pertama, usia nikah sesuai undang-undang, laki-laki minimal 21 tahun, perempuan minimal 19 tahun. Lebih baik lagi kalau usia nikah ditunda. Mereka yang kuliah sebenarnya adalah peserta KB aktif karena telah menunda usia nikah Kedua, mengikuti kuliah pra-nikah yang baik pada lembaga-lembaga resmi dan terpercaya, baik yang dilakukan lewat lembaga pemerintah maupun non-pemerintah. Ketiga, lewat kuliah pranikah ini, calon pasangan suami istri belajar pilar-pilar ketahanan keluarga yaitu ketahanan fisik (kesehatan, misalnya tidak anemia, tidak ada penyakit generatif maupun de-generatif), ketahanan ekonomi, ketahanan sosial-budaya, dan ketahanan psikis-psikologis.
Menikah juga harus tercatat pada lembaga resmi yang menerbitkan akta/buku nikah agar terjamin hak warga negara suami, istri, dan anak-anak. Selanjutnya, calon linto dan dara baroe (calinda) harus paham bahwa pernikahan bukanlah tujuan akhir, tapi awal dari perjuangan bersama. Karena itu sejak sebelum menikah sudah harus memeriksakan dan menjaga kesehatan, tidak lagi makan “sampah”, hanya makan yang halal, baik, sehat, alami. Agar sejak konsepsi, janin dan ibu hamil sudah dalam keadaan sehat.
Apa yang menjadi faktor penyebab meningkatnya kasus gugat cerai di Aceh?
Bisa jadi karena perlindungan dan kesadaran akan hak-hak perempuan makin baik. Perempuan makin mandiri dan bisa bekerja untuk memberi nafkah diri dan anaknya. Tapi juga bisa karena perilaku oknum laki-laki para suami itu makin tidak bertanggung jawab. Perempuan Aceh juga dikenal kuat dan heroik. Tapi bukan berarti para suami boleh melepaskan tanggung jawabnya terutama pada anak keturunannya walaupun digugat cerai istrinya.
Bagaimana cara mempertahankan keutuhan sebuah rumah tangga yang harmonis?
Kalau kursus pra-nikahnya bagus, calinda belajar dan membuat rencana berkeluarga dengan serius, modal awal sudah cukup baik. Tapi sebagai sebuah perjuangan bersama, membangun dan membina keluarga tidak selalu mudah. Para orangtua, guru, dan ustadz banyak nasihat untuk ini. Tapi tetap semua terpulang pada pasangan suami-istri dan keluarganya. Komunikasi berkualitas jadi salah satu penentu. Banyak keluarga di Aceh walaupun tinggal serumah tidak selalu berkomunikasi dengan baik. Belum lagi mengurus anak dan rumah tangga yang dianggap hanya tanggung jawab ibu/perempuan. Perjuangan bersama yang harus dilakukan bersama. Kalaupun ada pembagian tugas, harus dikomunikasikan dan sama-sama rela dan ridha.
Juga, kalau ada masalah yang mengganggu, jangan ragu untuk mencari bantuan pada konselor keluarga, psikolog, guru, ulama, orang tua atau teman sejawat yang dipercaya untuk curhat. Kita semua perlu didengarkan, termasuk anak-anak. Karena itu penting untuk saling mendengarkan dalam keluarga.
Apa kunci rumah tangga bahagia?
Bersyukur dengan apapun yang ada pada pasangan dan keluarga kita. Jangan bosan berkomunikasi dan bermusyawarah dalam keluarga. Karena “pernikahan itu adalah sebuah diskusi/percakapan panjang yang tak boleh berhenti.”