Gema Jumat, 23 Oktober 2015
Oleh: Dr. H. Badrul Munir, LC, MA (D.E.S.A), Staf Pengajar Fakultas Syariah UIN Ar-Raniry
Islam agama adalah sebuah agama, sebuah sistem yang bersifat universal, komprehensif, komplit dan terpadu yang mengatur bentuk dan tata cara interaksi manusia dengan pencipta, interaksi manusia dengan dirinya sendiri dan sesama manusia lain, bahkan interaksi manusia dengan makhluq hidup lainnya dan lingkungan alam.
Sehingga muslim yang paling optimal imannya adalah yang paling optimal mampu menata ketiga dimensi-dimensi tersebut di atas. Tidaklah dikatakan muslim sejati kalau ia optimal dengan penciptanya saja, kurang dengan sesama manusia dan makhluq lainnya serta lingkungannya. Tidaklah dikatakan muslim sejati, kalau ia hanya optimal sesama manusia, tetapi tidak optimal dengan penciptanya.
Gambaran muslim sejati yang islami tercermin dan terilustrasi dari pribadi Rasulullah SAW, ketika beliau menjadi manusia yang diutus sebagai nabi/rasul menyampaikan risalah kepada umat, pada saat yang sama beliau juga seorang kepala negara, kepala keluarga, beliau juga mendidik keluarga beliau, beliau juga bermuamalah dengan manusia lain dan beliau juga peduli dengan lingkungannya. Selain itu, beliau juga melakukan ikut kegiatan perdagangan.
Apabila sebelum cahaya Islam datang, manusia hidup dengan perilaku dan karakter negatif (jahiliah) baik terkait hubungan dengan Allah, seperti mempersekutukan Allah dan bermaksiat kepada Allah, maupun terkait interaksi dengan manusia seperti mengkhianati amanah, berbuat zalim, mencuri, merampok, mengambil secara tidak sah harta dan hak orang lain dan memakan riba serta berbagai praktek ekonomi lainnya yang tidak sesuai dengan nilai Al-Quran dan Hadist dan adat manusia yang berperadaban.
Maka ketika cahaya Islam datang, Islam mengislamisasikan berbagai segmen kehidupan termasuk islamisasi kegiatan ekonomi. Islam meletakkan sejumlah landasan, aturan dalam bingkai wahyu ilahi dan rasuli yang bertujuan untuk mensejahterakan umat, membawa rahmat bagi umat, mendatangkan mashlahat untuk umat dan menolak kemudharatan bagi umat.
Maqashid Syariah
Founding Father Maqashid Syariah, Imam alSyatibi di dalam Magnum Opusnya, al-Muwafaqat menyatakan: “Sesungguhnya syariat itu ditetapkan bertujuan untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat”, salah satu inti kemashlahatan tersebut adalah pencapaian kesejahteraan.
Makna tersebut kembali ditegaskan oleh Imam Ibnu al-Qayyim yang mendiskripsikan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan manusia di dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan hikmah, jika keluar dari keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan hukum Islam. Oleh karena itu, doktrin Maqashid al-Syariah adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan merealisasikan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Kesejahteraan dalam konsep dunia modern adalah sebuah kondisi dimana seorang dapat memenuhi kebutuhan pokok, baik itu kebutuhan akan makanan, pakaian, tempat tinggal, air minum yang bersih serta kesempatan untuk melanjutkan pendidikan dan memiliki pekerjaan yang memadai yang dapat menunjang kualitas hidupnya sehingga memiliki status sosial yang mengantarkan pada status sosial yang sama terhadap sesama warga lainnya.
Dalam Kamus besar Indonesia kesejahteraan adalah aman, sentosa, damai, makmur, dan selamat (terlepas) dari segala macam gangguan, kesukaran, dan sebagainya. Pengertian ini sejalan dengan pengertian “Islam” yang berarti selamat, sentosa, aman, dan damai.
Misi Kesejahteraan
Dari pengertiannya tersebut di atas dapat dipahami bahwa masalah kesejahteraan sejalan dengan misi Islam itu sendiri. Misi inilah yang sekaligus menjadi misi kerasulan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan dalam ayat yang berbunyi : “Dan tidaklah Kami mengutus kamu wahai Muhammad, melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. al-Anbiya : 107). bukankah rahmat paling esensi dalam kehidupan manusia, tercapainya kesejahteraan dan kebahagian dunia akhirat?
Upaya mewujudkan kesejahteraan merupakan misi kekhalifahan yang dilakukan sejak Nabi Adam AS. Kesejahteraan sosial yang didambakan al-Quran tercermin di Surga yang dihuni oleh Adam dan isterinya sesaat sebelum mereka turun melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi. Firman Allah: “Hai adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari Surga, yang akibatnya engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan telanjang, dan sesungguhnya engkau tidak akan merasakan dahaga maupun kepanasan. (QS. Thaha: 117-119). Dari ayat ini jelas bahwa pangan, sandang, dan papan yang diistilahkan dengan tidak lapar dan dahaga, tidak telanjang, dan tidak kepanasan semuanya telah terpenuhi di sana. Terpenuhinya kebutuhan ini merupakan unsur pertama dan utama dalam kesejahteraan sosial.
Di sisi lain, Allah memerintahkan kita untuk mawas diri dan berhati-hati, agar kita tidak meninggalkan generasi yang tidak sejahtera, generasi yang lemah, lemah iman, lemah taraf ekonomi, lemah pendidikan dan pengetahuan dan generasi yang rusak akhlaq. Firman Allah Ta’ala: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anakanak (generasi) yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kondisi mereka (agama, pendidikan, akhlaq, kesejahteraan dan sosial). Oleh karena itu, hendaklah bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mengucapkan perkataan yang benar”. (QS. An Nisa: 9).
Sebab itu, dalam berbagai kesempatan dan doa, sebagaimana diriwayatkan oleh para perawi hadist dengan berbagai sanad dan matan, bahwa Rasulullah senantiasa berdoa: Ya Tuhanku, aku berlindung kepada engkau dari kekufuran dan kemiskinan” (HR. Abu Daud, Sanad Sahih).
Karena ketidaksejahteraan dan menjadi faqir dapat menyebabkan iman seseorang tergadaikan, dapat menyebabkan seseorang melakukan perbuatan tidak baik untuk memenuhi kesejahteraannya. Islam berusaha mengatasi kemiskinan dan mencari jalan keluarnya serta mengawasi kemungkinan dampaknya. Tujuannya, untuk menyelamatkan ’akidah, akhlak, dan amal perbuatan; memelihara kehidupan rumah tangga, dan melindungi kestabilan dan ketentraman masyarakat, di samping untuk mewujudkan jiwa persaudaraan antara sesama kaum Muslimin. Karena itu, Islam menganjurkan agar setiap individu memperoleh taraf hidup yang layak dan sejahtera di masyarakat.
Faktor Struktural
Tidak ada alasan bagi hamba Allah takut jatuh miskin dan tidak sejahtera, karena semua isi ciptaan Allah di muka bumi ini diperuntukkan untuk kesejahteraan manusia. Firman Allah: “Dialah Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk (kesejahteraan) kamu”. (QS. Al-baqarah: 28). bahkan penciptaan malam, siang, matahari, bulan dan bintang telah ditundukkan dan diperuntukkan untuk memudahkan manusia dalam mencari rizqi dan kesejahteraan (QS. Al-Nahl: 12). “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya” (QS. Hud: 6).
Oleh karena itu kemiskinan dan tidak sejahtera manusia sering disebabkan oleh faktor-faktor Kemiskinan Struktural dan Faktor Kemiskinan Kultural (bukan Kemiskinan Natural). Struktural yaitu keadaan miskin dan tidak sejahtera yang disebabkan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan perbuatan manusia, misalnya penjajahan, pemerintahan yang otoriter, pengelolaan keuangan publik yang sentralistik, kebijakan fiskal yang salah, merajalelanya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), praktik riba, kebijakan ekonomi yang tidak adil, serta perekonomian dunia yang lebih menguntungkan kelompok negara tertentu. Sedangkan Kultural adalah keadaan miskin yang disebabkan oleh faktor-faktor yang tertentu yang melekat dalam kebudayaan masyarakat, misalnya kecenderungan untuk hidup boros, kurang menghargai waktu, budaya malas dan kurang bersemangat untuk berprestasi, berproduksi dan berkompetisi secara sehat.