Gema JUMAT, 20 Mei 2016
Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman)
“Dan demikian Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap gulita, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata:”Inilah Tuhanku” tetapi tatkala bintang itu tenggelam ia berkata “saya tidak suka kepada yang tenggelam”. (QS. Al-Anam ayat 75).
Ayat ini merupakan sambungan dari ayat sebelumnya yang menceritakan tentang dialog Ibrahim dengan ayahnya serta penentangan Ibrahim terhadap apa yang dilakoni oleh ayahnya sebagai seorang pembuat arca/patung yang digunakan sebagai sesembahan kaumnya.
Dalam ayat ini dijelaskan tentang bagaimana Allah memberikan ilham pengetahuan kepada Ibrahim untuk mengenal Allah secara logis dan intuitif. Tersirat dari dialog pribadi Ibrahim bahwa dirinya memiliki suatu hasrat untuk mencapai kebenaran ilahiyah. Kebenaran tersebut adalah dengan menganalisa gerak ‘alam kawn’ (alam semesta). Kebenaran tersebut juga disodorkan kepada Ibrahim secara gradasi (bertahap). Yang pertama tentang bintang, kemudian kepada yang lebih besar; bulan dan kemudian pada yang lebih besar lagi; yaitu matahari. Meskipun demikian setiap qadhiyah (hipotesa) yang dipikirkan oleh Ibrahim terpatahkan dengan qadhiyah yang lebih besar secara kuantatif. Meskipun demikian, Ibrahim tidak terjebak pada hal-hal yang bersifat material dan empiris. Ibrahim diberikan anugerah berpikir yang tepat, bahwa ada hal-hal yang bersifat immaterial dan supranatural yang lebih hebat dari sekedar pembuktian empiris. Hasilnya adalah bahwa Ibrahim secara meyakinkan mengambil konklusi dari hipotesahipotesa tersebut; yaitu bahwa Tuhan yang sebenarnya adalah yang menciptakan semua alam semesta. Allah. Allahu Akbar!!.
Ibrahim adalah seorang Nabiyullah yang mendapatkan ilham kebenaran dengan pembuktian, sehingga ia menjadi orang yang yakin terhadap Allah. Dengan kemampuan intelektual manusia yang paling sederhana di masanya, Ibrahim mampu menemukan Allah sebagai Tuhan secara mantap. Bagaimana dengan kita? Bukankah pembuktian demi pembuktian sains modern banyak yang menunjukkan terhadap bukti kebenaran Allah yang difi rmankan dalam al-Qur’an?
Butuh berapa banyak waktu lagi para pemikir kita untuk menemukan Tuhan dengan caranya sendiri? Kita memiliki kapasitas waktu dan ruang yang sangat sempit untuk menemukan Tuhan dengan ‘cara’ kita. Itupun tidak semua ‘cara berpikir untuk menemukan Tuhan’ -yang mengkristal sebagai fi lsafat itu- mampu menemukan ‘jejak’ Ketuhanan dengan benar. Lalu bagaimana?
Kita seharusnya memiliki prinsip dalam berakidah, yaitu semacam ‘pembuktian terbalik’ terhadap kebenaran itu sendiri. Secara sadar kita beriman kepada Allah dan rukun iman yang lain, barulah mencari kebenaran dari setiap apa yang kita imani. Konsep ‘sami’na wa ‘atha’naa’ lebih membuat tenang dari pada terus menerus menanyakan ‘Tuhan’ dalam bentuk kualitas atau kuantitas. Mempertanyakan kapasitas Tuhan, wewenang dan segala macam pikiran yang meragukan Allah. Allah telah memberikan ibrah kepada kita tentang Ibrahim sebagai ‘pencari Tuhan’ sejati. Kenapa kita tidak mengikuti pola pembuktiannya? Kesimpulannya: jadikan sains dan teknologi sebagai penyokong keimanan kita. Allahumma a’izz al-Islam wa al-muslimin.