Gema JUMAT, 13 Mei 2016
Oleh : Prof. Dr. Tgk. H. Azman Ismail, MA (Imam Besar Masjid Raya Baiturrahman)
“Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar, “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata” (QS. al-Anam 74)
Ayat ini menceritakan tentang dialog yang terjadi antara Nabi Ibrahim dengan ayahnya Azar. Dalam sejarah Azar dikenal sebagai pembuat patung kenamaan sehingga banyak ‘order’ yang harus dikerjakan, namun patung-patung tersebut dibuat sebagai sesembahan atau ‘Tuhan’. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim AS mengajak orang tuanya untuk ‘berdiskusi’ tentang permasalahan ketuhanan.
Dari ucapan Nabi Ibrahim yang tersurat dalam ayat di atas, jelas bahwa ia mempertanyakan secara logika dari ‘eksistensi’ patung sebagai tuhan sebagai perbuatan yang tidak layak dan tidak diterima oleh akal sehat. Dalam surat lain juga disebutkan dialog yang hampir sama. Dalam beberapa riwayat yang terkenal disebutkan bahwa ayahnya Azar menolak ajakan Nabi Ibrahim AS untuk bertauhid.
Dalam memahami ketuhanan, akal adalah sarana utama untuk menyingkapkan kebenaran yang sesungguhnya. Akal memainkan peranan penting untuk menjawab semua permasalahan alam makro dan alam mikro. Dalam hal ini adalah masalah kebenaran terhadap Sang Pencipta dan ciptaan-Nya.
Pada masyarakat modern, akal dan pengetahuan empiris sangat membantu terhadap pertanyaan mengenai Tuhan. Setidaknya untuk memahami dan mengenal Allah dapat dijelaskan dengan dua pendekatan perspektif. Pertama perspektif akal. Pendekatan akal bisa saja menjurus kepada pengetahuan filsafat yang mempertanyakan segala sesuatu kemudian sampai kepada kebenaran. Namun kebenaran yang didapatkan adalah kebenaran yang relatif (nisbi). Hal tersebut dapat dibuktikan dengan banyaknya orang yang mengambil jalan filsafat sebagai tolok ukur kebenaran terjerembab pada kekufuran, seperti ateisme; atau terjerembab kepada kesesatan, seperti hedonisme.
Pendekatan wahyu adalah pendekatan yang efektif dalam memahami ketuhanan. Wahyu dalam versi al-Qur’an adalah paling otentik dari segala wahyu yang pernah diturunkan. Dalam tutur al-Qur’an dijelaskan bahwa wahyu-wahyu sebelumnya banyak yang diselewengkan (at-tahriif), sehingga tidak asli lagi dan tidak layak sebagai pedoman beragama.
Islam adalah perspektif ideal dalam mengenal Allah SWT sebagai Sang Pencipta. Argumen, bukti serta data historisitas tersaji dan dapat dibuktikan secara empiris. Namun, sebagian dari kelemahan muslim menyebabkan Islam bersinar redup untuk menerangi dunia dalam rangka menjelaskan hakikat kehidupan yang sebenarnya. Islam harus tumbuh dengan muslim yang memahami realita kehidupan dan realita keagamaan. Muslim yang hanya menghargai kehidupan, akan jauh dari tujuan dari agama, serta muslim yang hanya mementingkan keagamaan akan terlindas dari roda kerasnya putaran dunia. Jadilah muslim yang mutawassith. Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya dan berbuatlah untuk akhiratmu, seakan-akan engkau mati esok pagi.