Sebagai salah satu institusi keagamaan yang erat hubungan dengan sosial ekonomi yang tidak melihat lintas waktu, wakaf produktif yang ada di masjid ternyata tidak hanya sekedar mentransfortasikan tabungan masyarakat menjadi modal investasi, tapi manfaat wakaf dapat juga menjadi salah satu sarana meratakan pertumbuhan ekonomi suatu negara.
Apabila dana wakaf yang cukup besar tersebut dapat dikelola dan didayagunakan dengan optimal akan menumbuhkan pemerataan pertumbuhan ekonomi di kalangan masyarakat kelas bawah, sehingga status sosial mereka terangkat.
Literasi dan Kepercayaan
Pemberdayaan ekonomi masjid berbasiskan wakaf produktif, menurut Mohammad Haikal, ST, M.I.F.P selaku Ketua Baitul Mal Aceh mengatakan, ada beberapa faktor penting yang dapat menjadikan perekonomian masjid berdaya. Literasi menjadi salah satu faktor penting, karena akan menumbuhkan kesadaran bersama serta begitu banyak manfaat yang dihasilkan dari pengelolaan wakaf dengan baik.
Selain itu, rasa percaya yang dimiliki oleh masyarakat terhadap nazhir pengelola wakaf juga sangat menentukan apakah wakaf tersebut semakin produktif atau justru sebaliknya. Jika kedua hal tersebut sudah dimiliki, maka wakaf produktif ini harus dijalankan secara profesional.
Masjid sangat layak sebagai tempat pengelola wakaf. Hal ini dilihat dari transparansi sistem yang dimiliki oleh masjid. Mulai dari adanya SK yang dikeluarkan Badan Wakaf Indonesia terhadap masjid-masjid yang ada, adanya perencanaan, pelaporan yang dapat dipertanggung jawabkan nantinya. Ditambah lagi Aceh memiliki BMA yang juga selalu sigap dalam mengawasi perjalanan pengelolaan wakaf yang ada.
Menurut Haikal, dalam pengelolaannya tentu akan banyak permasalahan yang dihadapi, seperti SDM yang tidak siap, modal kerja dan sebagainya. Maka diperlukan kondisi lingkungan yang mendukung wakaf produktif tersebut. Termasuk, siap menerima dan menerapkan inovasi-inovasi baru yang dimiliki para pengelola wakaf masjid tersebut. Faktor penting lainnya adalah adanya komunikasi publik yang baik dalam memperkenalkan wakaf tersebut melalui media dalam menyebarluaskannya kepada masyarakat.
Era Kolaborasi
Manfaat wakaf harusnya dapat dirasakan dalam jangka waktu yang panjang. Baitul Asyi dapat menjadi salah satu referensi penguat bagi masyarakat sebagai wujud dari sebuah wakaf yang dikelola dengan baik sejak lama.
Sudah saatnya kita berkolaborasi bukan berjalan sendiri-sendiri. Begitupun dalam pengelolaan wakaf ini, setiap lembaga masyarakat dan pemerintah memiliki peran dan tanggung jawab dalam menjaga kebermanfaatan wakaf tersebut. Wakaf tidak hanya sebagai kewajiban bagi pengurus masjid, namun juga menjadi tanggung jawab dari jamaah. Begitu pula bagi para nazhir sebagai pengelola wakaf, dalam pengelolaannya harus dijadikan pekerjaan utama tidak boleh sambil lalu yang bermakna tidak serius dalam pengelolaan amanah tersebut. Penyiapan nazhir pun harus dipersiapkan jauh-jauh hari. Sehingga untuk menjadi nazhir haruslah memiliki sertifikasi, sehingga adanya standarisasi dalam pengelolaan wakaf produktif masjid.
Haikal Menambahkan, BMA sebagai lembaga pemerintah yang mengawasi ZISWAF mengambil peran dalam hal perlindungan dan pemberdayaan. Wakaf produktif yang berbentuk aset berkembang tersebut haruslah dilindungi melalui adanya sertifikasi agar tidak ada sengketa dan berbagai permasalahan yang akan terjadi nantinya. Jika sudah terlindungi, tugas selanjutnya adalah pemberdayaan dengan penyuntikan modal yang diawasi oleh BMA. Dalam menjalankan dua hal tersebut tentunya BMA selalu berkolaborasi dengan insitusi lainnya seperti Kementerian Agama, Dinas Syariat Islam, pengurus masjid dan aparat gampong.
Kepala Dinas Syariat Islam (DSI) Aceh, Dr. EMK. Alidar, S. Ag,. M. Hum mengatakan bahwa Aceh kaya akan masjid dan hampir semua masjid memiliki aset wakaf yang dapat diproduktifkan. Perlunya pengelolaan aset wakaf produktif inilah yang menjadi hal penting yang seharusnya menjadi perhatian bersama.
Misal, depot air isi ulang sebagai unit usaha di masjid akan sangat berdampak baik, paling tidak biaya operasional masjid tidak lagi menjadi hambatan. Jika sudah lebih mandiri, level dapat ditingkatkan dengan menyediakan usaha terintegrasi lainnya seperti SPBU mini, warung kopi, penginapan yang dikelola dengan baik. Dengan adanya pengelolaan tersebut akan menjadikan masjid mandiri dan warga atau jamaah di sekitar masjid juga turut diberdayakan.
Masjid mandiri tentu akan menjadi nilai tambah dari masjid, yang tidak hanya sebagai tempat ibadah namun juga menjadi pusat solusi dari berbagai permasalahan ekonomi masyarakat seperti yang dicontohkan di masa Rasulullah dan para sahabat.
Dalam mewujudkan kemandirian masjid tersebut, DSI sebagai instansi pemerintah, mengambil peran dalam membimbing dan mendampingi para pengurus masjid. Pendampingan dan bimbingan dilakukan dengan diadakannya berbagai pelatihan kepada pengurus masjid dan tentunya berkolaborasi dengan instansi dan Lembaga-lembaga pemerintah lainnya. Dengan doa dan harapan semoga berbagai usaha yang kita lakukan, akan memudahkan para pengurus masjid menuju masjid mandiri berbasiskan wakaf produkti sesuai syariat.