Gema Jumat, 18 september 2015
oleh : Prof. Dr. H. Zainal Abidin Alawy, Ma (Penceramah Halqah Maghrib Masjid Raya Baiturrahman)
Dari Sa’ad r.a dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Aku heran terhadap orang Islam, apabila ia tertimpa musibah, ia introspeksi diri (muhasabah) dan bersabar. Apabila ia memperoleh kebaikan, lalu ia memuji Allah dan bersyukur padaNya. Sesunggunya orang Islam dipahalai oleh Allah dalam segalah hal, bahkan kepada suapan nasi (makanan) yang dimasukkan kemulutnya”. HR Al-Baihaqy (Lihat As-Sayed Ahmad Al-Hasyimy: Mukhtarul Ahadits An-Nabawiyah wa Al Hi-kamul Muhammadiyah, huruf “‘IN”, hadits ke- 7, hal 94).
Nabi Muhammad SAW merasa heran dan ajaib terhadap sifat-sifat terpuji yang dimiliki oleh orang-orang Islam dalam kedudukannya sebagai hamba Allah yang beriman dan bertaqwa, yang berkemampuan memelihara dan menahan diri, ketika ditimpa bencana dan penderitaan, serta berkemampuan menjaga luapan kegembiraan, tanpa bersorak-sorai pada kondisi dan waktu-waktu tertentu.
Keheranan Nabi SAW itu tercakup dalam tiga hal: Pertama, apabila mereka ditimpa oleh sesuatu musibah, yang didalamnya mengandung penderitaan, kesengsaraan, ketidakamanan, ketidak-nyamanan, susah gelisah, gundah gulana, ketidak-stabilan, yang seyogiyanya mereka harus meronta-ronta, mengeluh, mengaduh, berteriak-riak, isak tangis, tetapi hal yang seperti itu tidak terjadi pada mereka.
Mereka paham benar dan mengerti, bahwa segala bentuk bencana, seperti kematian, kebakaran, banjir, gempa bumi dan tanah lonsor, semuanya telah tersurat dan ditetapkan dan tak terelakkan, sebagaimana firmanNya: “Katakan (Muhammad), tidak bakal menimpa kami, melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah pelindung kami dan hanya kepada Allah bertawakkallah orang-orang yang beriman”. (QS At-Taubah 9: 51).
Karena memakai prin-sip inilah orang-orang muslim yang beriman memilki sifat: bermuhasabah atau introspeksi diri sendiri, artinya merenungi apa yang telah menimpa mereka. Mereka meresapi terhadap kesalahan dan kekurangan yang telah mereka lakukan dan memperbaiki kesalahan setelah menilai diri mereka.
Kemudian memiliki sifat kesabaran, yaitu me-nahan segalah bentuk penderitaan dengan penuh ketabahan, tanpa menampakkan penderitaan yang mereka rasakan dan tidak ada rasa benci kepada Allah akan cobaan yang mendera mereka. Dengan sabar inilah mereka mampu mengendalikan segala bentuk penderitaan, serta selalu bertawakkal dan pasrah ke-pada Allah.
Kedua, apabila mereka memperoleh kebaikan atau anugerah dari Allah, mereka memuji Allah dan bersyukur kepadaNya. Mereka meresapi dengan perasaan yang mendalam, bahwa anugerah itu datang dari Allah. Diterimahnya dengan penuh syukur. Mereka menerima bukan dengan sorak-sorak, kepongahan dan penuh suka ria. Mereka memahami, bahwa nikmat dan anugerah itu harus disyukuri, bahkan perlu diberitahu kepada pihak lain, bagaimana yang terkandung dalam firman Allah: “Sesunggunya jika kamu bersyukur, nis-caya Aku akan menambah nikmat Ku kepadamu.” (QS Ibrahim 14:7). Dan firmanNya: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, hendaklah engkau nyatakan/beritahukan (dengan bersyukur)”. (QS Adh-Dhuha 93:11).
Ketiga, ssesunggunya muslim itu dipahalai dalam segalah hal, sampai dengan suapan (makanan) yang dimasukan ke dalam mulutnya. Apabila seseorang makan dan dia memakannya dengan do’a: “ Ya Tuhan kami, berkahilah kepada kami apa yang telah Engkau rezekikan kepada kami”, maka suapan ma-kanan yang dimasukkan kemulutnya sendiri bernilai pahala disisi Allah. Usaha memakan makanan saja dipahalai, apalagi jika ada makanan yang diberikan kepada pihak yang membutuhkannya seperti kepada fakir, miskin, anak yatim, orang terlantar atau yang meminta bantuan makanan kepadanya. Hal yang de-mikian tentu akan mendapat pahala yang belipat ganda.
Tiga hal itulah yang mengherankan Nabi SAW atas kelebihan dan keistimewaan muslim dalam pan-dangan Allah SWT. Wallahu A’lam Bishshawab.