GEMA JUMAT, 8 FEBRUARI 2019
Masyarakat yang kritis merupakan sebuah keniscayaan agar suatu daerah bisa semakin maju. Masyarakat yang berpikiran kritis mampu memberikan solusi maupun pendapatnya terhadap berbagai isu seperti sosial, ekonomi, politik, adat dan budaya, dan pemerintahan.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Prof Yusny Saby, mengatakan, pentingnya daya kritis masyarakat untuk mengawasi kinerja pemerintahan supaya tidak sewenang-wenang dalam menjalankan tugasnya. “Masyarakat harus waspada terhadap soal isu keagamaan, sosial, politik, dan ekonomi, terutama kepada perilaku penguasa yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif,” ujarnya kepada Gema Baiturrahman saat dijumpai di satu warung kopi, Banda Aceh.
Ia menjelaskan, kekritisan seseorang terhadap sebuah isu dapat disampaikan melalui tulisan opini di media sosial dan media massa. Akan tetapi, kumpulan masyarakat kritis dalam sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) memiliki kekuatan lebih dibandingkan yang bersifat individu. Misalnya LSM yang bergerak di bidang hak asasi manusia maupun perlindungan perempuan dan anak.
Lembaga kemasyarakatan tersebut seyogianya menjunjung independensi. Artinya, tidak memihak kepada kelompok partai politik tertentu, melainkan demi kepentingan umum. “Lembaga ini harus menjadi penyeimbang yang bergerak atas kepentingan umum yang kadang kala bisa dimanipulasi oleh eksekutif maupun legislatif,” lanjutnya.
Ia menambahkan, lembaga seperti itu mesti memiliki kewibawaan, menjadi pengontrol kebijakan pemerintah agar tepat sasaran. Katanya, di dalam pemerintahan, kontrol oleh pimpinan terkadang tidak efektif. Atau adanya konspirasi antara eksekutif dan legislatif soal pengawasan kebijakan.
Kritis dan fanatik
Prof Yusny menuturkan, ada perbedaan mencolok antara kritis dan fanatik. Kritis merupakan kemampuan berpikir yang logis dan praktis demi kemanfaatan bersama serta tidak menerima suatu kebijakan yang tidak perlu. Misalnya, menyuarakan kekompakan jemaah masjid.
Sedangkan fanatik adalah berpegang pada satu alur pikiran yang diakui benar dan tidak mau menerima yang lain. Orang fanatik biasanya juga antikritis. Kadang kala ia bisa benar dan salah.
Meskipun demikian, katanya, ada beberapa hal dalam beragama penting fanatik, seperti fanatik mazhab, tapi ada batasnya. Yang salah adalah ketika fanatik mazhab kemudian menyalahkan mazhab lain.
“Fanatik itu penting, adanya kesetiaan, tapi ada batasnya. Tapi kalau sudah salah, misalnya korupsi, ya tidak boleh dibela,” tegasnya.
Ia menambahkan, daya kritis seseorang perlu dilatih sejak dini melalui organisasi kesiswaan, kemahasiswaan, atau organisasi di kemasyarakatan.
Peneliti di Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Syiah Kuala (PPISB Unsyiah) Dr Saiful Mahdi, mengatakan, kritis adalah “iqra”, perintah pertama untuk muslim dari Allah SWT lewat Rasulullah SAW. Jelas bukan sekedar membaca teks. Apalagi waktu itu belum ada teks, dan Nabi Muhammad saw “tidak bisa membaca”.
Jadi iqra disini adalah membaca teks dan konteks”, ayat qauniyah maupun qauliyah, membaca seluruh tanda, data, fakta dalam alam raya. Membaca konteks, artinya membaca kritis, membaca asbabun nuzul, dan juga konteks lahirnya hadis. “Sayang sekali, muslim saat ini lemah dalam membaca teks, apalagi konteks. Makanya kita jadi buih yang terombang-ambing,” ujarnya.
Katanya, kalau tidak kita tidak akan pernah mampu membaca secara mendalam, termasuk membaca tingkat tinggi. Kalau masyarakat tidak bisa jadi pembaca yang baik, yang kritik, maka tidak akan mampu menulis dengan baik.
Terbukti, begitu banyak pelatihan menulis, tapi tak kunjung membuat kita mampu menulis dengan baik. Untuk bisa menulis dengan baik, maka harus membaca yang banyak dan baik, termasuk membaca kritis, membaca teks dan konteks.
Ia menambahkan, berpikir kritis juga modal untuk bisa berpikir pada tingkat tinggi, yaitu berpikir mendalam dan substansial dengan kemampuan menghubungkan berbagai konsep dan pengetahuan yang dimiliki dan ketahui, sampai bisa memahami abstraksi yang tinggi.
Mengasah Daya Kritis
Ia turut menjelaskan, cara mengasah daya kritis seseorang adalah dengan banyak membaca, membaca apa saja secara mendalam, sampai mampu meresapi pesan-pesan dari para penulis. Kemudian memperbanyak genre bacaan, termasuk buku-buku dan bacaan yang tidak umum, alternatif, berbeda, bahkan yang dilarang. “Termasuk buku dari aliran yang tidak kita kenal atau tidak kita suka,” terangnya.
Selain membaca, katanya, kita perlu sering berdiskusi dengan mengikuti forum-forum diskusi, seminar, konferensi, dan majelis ilmu lainnya. Kalau kita tidak kritis, itu sama dengan tidak menjalankan perintah agama kita. Tidak iqra, tidak mampu dan tak berani bertabayyun. Bahkan kita akan cenderung melakukan yang dilarang agama Islam: Penuh curiga dan syakwa sangka, bisa rendah diri sama yang lebih maju, tapi juga bisa sangat sombong sama yang kita anggap lebih rendah, suka merendahkan, tidak terbuka
Dengan banyaknya informasi hoaks, fitnah, saling mencaci maki di media sosial, keuntungan seseorang yang berpikiran kritis yakni tidak mudah terombang-ambing, akidahnya terhindar dari terancam. “Orang yang berpikir kritis akan sulit kena hoax, tidak mudah kena tipu, dan tak akan suka mencaci maki,” sambungnya. Zulfurqan