Oleh Riza Rahmi
Di zaman Rasulullah, tersebutlah nama al-A’sya, penyair Arab Jahiliyah yang termahsyur di masanya. Ketika ia mendengar ihwal diutusnya Muhammad sebagai Rasulullah, al-A’sya datang ke Mekkah. Ia membawa kasidah yang sengaja ia persiapkan untuk memuji Rasululullah. Namun sayang, ketika Abu Sufyan mengetahui maksud al-A’sya, ia mencekal lalu berseru pada kaumnya, “Demi Tuhan, bila al-A’sya bertemu dengan Muhammad dan memujinya, maka pasti dia akan mempengaruhi bangsa Arab untuk mengikuti Muhammad. Karena itu, sebelum terjadi, kumpulkanlah seratus ekor unta dan berikan kepadanya agar ia tidak pergi menemui Muhammad.”
Ketakutan Abu Sufyan sungguh beralasan. Di zaman itu, para sastrawan memiliki pengaruh yang sangat kuat. Syair-syairnya adalah racun yang membius. Sastrawan bagi bangsa Jahiliyah adalah pembela kabilah. Di tengah-tengah kaumnya, mereka ikut menentukan keputusan mana yang harus dijalankan. Sebelum turun ke medan perang, syair-syair mereka adalah penggelora semangat para pasukan.
Tidak hanya bagi kaum Jahiliyah. Kekuatan syair juga amat diperhitungkan oleh Rasulullah. Dalam salah satu riwayat dari Imam al-Khattibi dan Ibnu Asakir misalnya, kita mengetahui bagaimana sastra juga berperan sebagai senjata. Di sana dinukil bahwa Rasululullah pernah memerintahkan Hasan bin Tsabit dengan kalimat, “Balaslah ejekan kaum musyrikin itu. Jika para sahabatku yang lain berjuang dengan senjata, maka engkau berjuanglah dengan sya’irmu.”
Jauh setelah zaman Rasulullah, kita masih menemukan bagaimana sastra tetap berperan sebagai alat kritik. Jika Napoleon pernah berkata bahwa mata pena seorang wartawan lebih berbahaya dari seribu senjata, kita yang pernah merasakan era pers dibredel atau pers dililit kepentingan bisnis dan politis, tentu paham bahwa adakalanya mata pena seorang jurnalis juga bisa dibungkam. Kala itu terjadi, dari mana kebenaran harus disuarakan? Seno Gumira dengan tegas menjawabnya, “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara!”
Tidak bisa ditampik bahwa sastra memiliki kuasa. Hanya saja, sebagai sebuah alat, kedigdayaan sastra dalam menebar nilai-nilai kebaikan sangat tergantung pada siapa yang menggunakannya. Kebaikan dalam sastra menjadi amat relatif, mengikuti gerak pikir penggubahnya. Karena itu, demi mengawal nilai-nilai sastra agar sejalan dengan nilai-nilai Islam, kita seharusnya mendukung kebangkitan sastra profetik, sastra beretika yang membawa misi kenabian.nRiza Rahmi